Rahmat Mulyadi

Rahmat Mulyadi

Jumat, 19 April 2013

195. ANTARA TAWADU’ DENGAN TAKABBUR



Man atsbata linafsihi tawadhu’an fahuwal mutakabbiru haqqan idzlaisat-tawaadhu’u illaa’an rif’atin famtaa atsbata linafsika tawadhu’an fantal mutakbbiru

Artinya : Barangsiapa yang merasa dirinya tawadhu’ (merendahkan diri), maka dengan demikian itu sebenarnya dia adalah orang yang sombong sebab tidaklah ada tawadu’ itu melainkan dirinya sendiri merasa tinggi. Maka apabila ada rasa tawadhu’ di dalam jiwa-Mu, maka berarti kamu adalah orang yang benar-benar takabbur (sombong)”.

Di antara para ulama terdapat perbedaan-perbedaan dalam mendefinisikan kata tawadhu’. Akan tetapi walaupun berbeda-beda namun pada hakekatnya adalah sama saja, yakni yang berarti merendahkan diri.
Beberapa definisi di antaranya adalah :
-          Sikap tidak menganggap perbuatannya lebih tinggi dari yang lain.
-          Bersikap tenang, sederhana, sungguh-sungguh dan menjauhi perbautan takabbur (sombong), ganas, ataupun membangkang. Dan tawadhu ini merupakan salah satu (sifat) yang harus dimiliki oleh setiap orang yang beriman.
-          Menurut Fadloil bin Iyyadh, Tawadhu’ adalah tunduk dan taat melaksanakan yang hak (benar) serta mau menerima kebenaran dari siapapun.
-          Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, hakekat tawadhu’ adalah mengambil kekuasaan yang hak (benar) dengan bersungguh-sungguh mencapainya, taat dalam menghambakan diri ke[pada Allah sehingga benar-benar menjadi hamba Allah (bukan hamba orang banyak),
-          Bukan hamba hawa nafsu dan bukan karena pengaruh siapapun dan tanpa menganggap dirinya lebih tinggi dari yang lain.

Adapun kebalikan dari sikap tawadhu’ adalah takabbur. Di dalam Hadits riwayat Muslim disebutkan, bahwa takabbur (sombong) itu adalah menolak hak (kebenaran), dan merendahkan orang lain.
Sedangkan balasan bagi orang-orang  yang takabbur (sombong) adalah baginya tidak disediakan tempat sedikitpun di syurga. Hal ini sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Qoshosh ayat 83, yang artinya :
“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa”.
Akan tetapi antara tawadhu’ dan takabbur ini mempunyai perbedaan yang samara. Sehingga tanpa disadari terkadang orang yang tawadhu’ (mutawadli) pun bisa terjebak kedalam sifat takabbur. Hal ini bisa terjadi bilaman mutawadli’ itu merasa bahwa dirinya adalah orang yang tawadhu’. Sebab tidak ada orang yang merasa bahwa dirinya tawadhu’ melainkan perasaan itu timbul dari rasa sombong (takabbur).
Kembali kepada firman Allah dalam Surat Al-Qoshosh ayat 83, di atas tadi, disana bisa terlihat adanya hubunmgan yang seimbang (relevansi) antara kesombongan dengan perbuatan kerusakan di muka bumi. Dan memang hal ini sudah sering terbukti, di mana orang-orang yang sombong yang merasa dirinya paling kuat, paling pandai, paling ditakuti, dan sebagainya, berbuat kesewenang-wenangan menurut kemauannya sendiri tanpa menghiraukan kepentingan orang lain, merasa perbuatannya selalu benar, atau berbuat kerusakan di sana sini sekehendak hatinya sendiri karena merasa tidak akan ada orang lain yang berani menegur atau melarangnya.
Adapun sebab-sebab yang mengakibatkan seorang terjebak ke dalam sifat takabbur dan berbuat kerusakan di muka bumi di antaranya adalah :
1.       Tidak adanya iman di dalam jiwanya.
2.       Merasa mempunyai kelebihan dibandingkan orang lain, seperti karena kekayaannya, kedudukannya, kepandaiannya dan sebagainya.
3.       Keinginan untuk di puji, di sanjung, dihormati, disayangi, menjadi pusat perhatian dan sebagainya.
Adapun obat untuk menyembuhkan penyakit takabbur yang bersarang di dalam (hati) itu antara lain :
1.       Selalu merasa bahwa dirinya adalah sebagai hamba Allah yang mempunyai banyak kelemahan dan kekurangan.
2.       Membuka lebar-lebar pintu hati untuk dimasuki nasehat-nasehat yang baik dari siapapun juga tanpa memandang kepada yang memberi nasehat, tetapi memandang apa yang dinasehatkan kepadanya.
3.       Banyak bercermin atau mengoreksi kesalahan dan kekurangan diri sendiri dan kemudian berusaha untuk memperbaikinya.
Setiap orang seharusnya mengambil pelajaran dari tanaman padi, yaitu makin berisi makin merunduk. Jadi apabila ada orang yang makin berisi kemudian makin tinggi mengangkat kepalanya agar setiap orang melihat atau memandangnya, maka demikian ini tidaklah dapat disebut tawadhu’ . hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Asy-Syadzili r.a. berikut ini :
“barang siapa merasa dirinya berharga (terhormat) maka baginya itu tidak dikatakan tawadhu’.
Juga Imam Yazid r.a. pernah mengatakan :
“Selama hamba itu menyangka bahwasanya dikalangan makhluq masih ada orang yang lebih jahat (jelek) dirinya, maka dia itulah orang yang sombong”.

Beberapa tanda atau cirri-ciri orang yang tawadhu’ yaitu “
1.       Tidak marah atau sakit hati bila dicemooh orang lain.
2.       Tidak merasa benci jika dikatakan sombong.
3.       Tidak serakah pada pangkat atau kedudukan.
4.       Tidak menganggap dirinya sebagai orang yang dihormati dan disegani.
Baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits terdapat banyak sekali anjuran-anjuran yang memerintahkan pada kaum muslim untuk senantiasa berlaku tawadhu’. Di antaranya adalah :
1.       Dalam surat Al-Furqon ayat 63, yang artinya :
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang ialah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang yang jahil mengajak bertengkar dengan mereka, mereka balas dengan ucapan yang bijaksana”.
2.       Dalam surat An-Nahl ayat 23, yang artinya :
“Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang sombong (takabbur).
3.       Dalam sebuah Hadits Riwayat Abu Nai’m yang bersumber dari Abu Hurairoh, yang artinya :
“Barang siapa yang bertawadhu’ karena Allah niscaya Allah akan mengangkat derajatnya”.
Selain itu ada pula sebuah Hadits yang artinya :
“Apakah kalian ingin memberitahukan (mengenai) orang-orang yang diharamkan api neraka, atau api neraka yang diharamkan baginya?.
(Yaitu) api neraka itu haram bagi orang-orang yang dekat (kepada Tuhannya), merendahkan diri (kepada-Nya), lemah lembut dan taat”

Dalam hal tawadhu’ ini Ibnu Athilah pernah mengatakan:
“Hakekat orang yang tawadhu’ (merendahkan diri) itu adalah apa yang dia lakukan itu diri penglihatannya akan kebesaran Allah dan kejelekan sifat-sifat-Nya”.

Lebih lanjut Ibnu At-Atho’illah mengatakan :
“Tidak bisa mengeluarkan kamu dari sifat sombong, kecuali (dengan) melihat sifat-sifat Allah”.

Memang benar apa yang dikatakan Ibnu Atho’illah di atas. Sebab dengan hanya melihat kebesaran, keagungan dan kesempurnaan Allah-lah (yakni dengan cara melihat dan memikirkan segala sesuatu yang ada dan terjadi di sekitar kita), maka kita akan merasa, bahwa kita ini kecil, lemah hina, tidak mempunyai apa-apa dan juga tidak mampu berbuat apa-apa tanpa pertolongan dari-Nya.dan sebagai akhir dari pembahasan bab ini, marilah kita bersama-sama berusaha mentauladani akhlaq rasulullah yang berikut ini :
-          Beliau tidak segan-segan memberi salam kepada anak-anak, bercakap-cakap dan bersenda gurau dengan mereka, sehingga kebanyakan di antara mereka menjadi manja kepada beliau.
-          Di dalam rumah tangganya, beliau tidak segan-segan untuk menyapu, mencuci, memberi makan ternak, memeras susu kambing, berbelanja sendiri ke pasar, makan bersama-sama dengan pelayan dan sebagainya.
-          Dalam bepergian beliau tidak merasa malu untuk memberi salam terlebih dahulu walaupun kepada orang miskin atau kepada orang lebih mudah dari beliau.
-          Sebagai seorang Penglima Perang beliau juga turut membuat bparit untuk perlindungan (ketika terjadi perang khondaq), ikut mencari kayu baker, memasak makanan dan sebagainya.
-          Sebagai seorang penguasa beliau tidak mau dibeda-bedakan. Terhadap hal ini hal ini beliau pernah bersabda, yang artinya :
“Sesungguhnya Allah tidak mau melihat hamba-Nya di beda-bedakan, diantara sesame kawannya”.
-          Ketika kedatangan tamu, beliau sendirilah yang menerima, melayani dan menyuguhkan hidangan untuk tamunya.
-          Dalam sebuah pertemuan, beliau tidak mau duduk di tempat yang diistimewakan, tetapi bercampur dengan kebanyakan orang. Dalam hal ini beliau bersabda, yang artinya :
“Wahai kalian semua, Allah telah (terlebih dulu) mengambil aku sebagai hamba-Nya sebelum Dia mengambil Nabi dan Rasul-Nya”.
-          apabila melakukan perjalanan bersama-sama sahabatnya. Beliau tidak mau berjalan paling depan, juga tidak mau diiringkan. Ketika ada sahabatnya yang memintanya untuk berjalan paling duluan, beliau mengatakan :
“Biarlah dibelakangku ada malaikat yang mengikuti”.
-          apabila mendapat undangan, beliau selalu menyempatkan diri untuk hadir, walaupun yang mengundangnya itu dari kalangan orang miskin atau orang yang tidak berkedudukan.
-          Beliau tidak segan-segan untuk bergaul dengan siapa saja dan duduk-duduk bersama mereka tanpa memandang status dan kedudukannya.
-          Pakaian yang dikenakannya tidak pernah lebih bagus dari yang dipakai sahabt-sahabatnya.
-          Jika bersenda gurau, beliau selalu menggunakan kata-kata yang baik dan tidak pernah tertawa dengan  terbahak-bahak, melainkan dengan tersenyum saja.
-          Apabila ada pengaduan dari umatnya, maka beliau akan memperhatikannya dengan teliti dan akan berusaha menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya.
Demikian akhlaq terpuji yang telah dicontohkan Rasulullah. Mudah-mudahan kita semua dapat mentauladaninya.


1 komentar:

  1. Artikel yang bagus.
    Jangan lupa kunjungi www.refiza.com
    Ada banyak souvenir cantik untuk pengajian, haji, pernikahan.

    BalasHapus