Man
atsbata linafsihi tawadhu’an fahuwal mutakabbiru haqqan idzlaisat-tawaadhu’u
illaa’an rif’atin famtaa atsbata linafsika tawadhu’an fantal mutakbbiru
Artinya : Barangsiapa yang
merasa dirinya tawadhu’ (merendahkan diri), maka dengan demikian itu sebenarnya
dia adalah orang yang sombong sebab tidaklah ada tawadu’ itu melainkan dirinya
sendiri merasa tinggi. Maka apabila ada rasa tawadhu’ di dalam jiwa-Mu, maka berarti
kamu adalah orang yang benar-benar takabbur (sombong)”.
Di antara para ulama terdapat
perbedaan-perbedaan dalam mendefinisikan kata tawadhu’. Akan tetapi walaupun
berbeda-beda namun pada hakekatnya adalah sama saja, yakni yang berarti
merendahkan diri.
Beberapa definisi di antaranya
adalah :
-
Sikap
tidak menganggap perbuatannya lebih tinggi dari yang lain.
-
Bersikap
tenang, sederhana, sungguh-sungguh dan menjauhi perbautan takabbur (sombong),
ganas, ataupun membangkang. Dan tawadhu ini merupakan salah satu (sifat) yang
harus dimiliki oleh setiap orang yang beriman.
-
Menurut
Fadloil bin Iyyadh, Tawadhu’ adalah tunduk dan taat melaksanakan yang hak
(benar) serta mau menerima kebenaran dari siapapun.
-
Sedangkan
menurut Ibnu Taimiyah, hakekat tawadhu’ adalah mengambil kekuasaan yang hak
(benar) dengan bersungguh-sungguh mencapainya, taat dalam menghambakan diri
ke[pada Allah sehingga benar-benar menjadi hamba Allah (bukan hamba orang
banyak),
-
Bukan
hamba hawa nafsu dan bukan karena pengaruh siapapun dan tanpa menganggap
dirinya lebih tinggi dari yang lain.
Adapun kebalikan dari sikap
tawadhu’ adalah takabbur. Di dalam Hadits riwayat Muslim disebutkan, bahwa
takabbur (sombong) itu adalah menolak hak (kebenaran), dan merendahkan orang
lain.
Sedangkan balasan bagi
orang-orang yang takabbur (sombong)
adalah baginya tidak disediakan tempat sedikitpun di syurga. Hal ini
sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Qoshosh ayat
83, yang artinya :
“Negeri akhirat itu Kami
jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat
kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang
yang bertaqwa”.
Akan tetapi antara tawadhu’ dan
takabbur ini mempunyai perbedaan yang samara. Sehingga tanpa disadari terkadang
orang yang tawadhu’ (mutawadli) pun bisa terjebak kedalam sifat takabbur. Hal
ini bisa terjadi bilaman mutawadli’ itu merasa bahwa dirinya adalah orang yang
tawadhu’. Sebab tidak ada orang yang merasa bahwa dirinya tawadhu’ melainkan
perasaan itu timbul dari rasa sombong (takabbur).
Kembali kepada firman Allah
dalam Surat Al-Qoshosh ayat 83, di atas tadi, disana bisa terlihat adanya
hubunmgan yang seimbang (relevansi) antara kesombongan dengan perbuatan
kerusakan di muka bumi. Dan memang hal ini sudah sering terbukti, di mana
orang-orang yang sombong yang merasa dirinya paling kuat, paling pandai, paling
ditakuti, dan sebagainya, berbuat kesewenang-wenangan menurut kemauannya
sendiri tanpa menghiraukan kepentingan orang lain, merasa perbuatannya selalu benar,
atau berbuat kerusakan di sana sini sekehendak hatinya sendiri karena merasa
tidak akan ada orang lain yang berani menegur atau melarangnya.
Adapun sebab-sebab yang
mengakibatkan seorang terjebak ke dalam sifat takabbur dan berbuat kerusakan di
muka bumi di antaranya adalah :
1. Tidak adanya iman di dalam
jiwanya.
2. Merasa mempunyai kelebihan
dibandingkan orang lain, seperti karena kekayaannya, kedudukannya,
kepandaiannya dan sebagainya.
3. Keinginan untuk di puji, di
sanjung, dihormati, disayangi, menjadi pusat perhatian dan sebagainya.
Adapun obat untuk menyembuhkan
penyakit takabbur yang bersarang di dalam (hati) itu antara lain :
1. Selalu merasa bahwa dirinya
adalah sebagai hamba Allah yang mempunyai banyak kelemahan dan kekurangan.
2. Membuka lebar-lebar pintu hati
untuk dimasuki nasehat-nasehat yang baik dari siapapun juga tanpa memandang
kepada yang memberi nasehat, tetapi memandang apa yang dinasehatkan kepadanya.
3. Banyak bercermin atau
mengoreksi kesalahan dan kekurangan diri sendiri dan kemudian berusaha untuk
memperbaikinya.
Setiap orang seharusnya
mengambil pelajaran dari tanaman padi, yaitu makin berisi makin merunduk. Jadi
apabila ada orang yang makin berisi kemudian makin tinggi mengangkat kepalanya
agar setiap orang melihat atau memandangnya, maka demikian ini tidaklah dapat
disebut tawadhu’ . hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Asy-Syadzili
r.a. berikut ini :
“barang siapa merasa dirinya
berharga (terhormat) maka baginya
itu tidak dikatakan tawadhu’.
Juga Imam Yazid r.a. pernah
mengatakan :
“Selama hamba itu menyangka
bahwasanya dikalangan makhluq masih ada orang yang lebih jahat (jelek) dirinya, maka dia itulah orang
yang sombong”.
Beberapa tanda atau cirri-ciri
orang yang tawadhu’ yaitu “
1. Tidak marah atau sakit hati
bila dicemooh orang lain.
2. Tidak merasa benci jika
dikatakan sombong.
3. Tidak serakah pada pangkat atau
kedudukan.
4. Tidak menganggap dirinya
sebagai orang yang dihormati dan disegani.
Baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits terdapat banyak sekali anjuran-anjuran yang memerintahkan
pada kaum muslim untuk senantiasa berlaku tawadhu’. Di antaranya adalah :
1. Dalam surat Al-Furqon
ayat 63, yang artinya :
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang
Maha Penyayang ialah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah
hati, dan apabila orang yang jahil mengajak bertengkar dengan mereka, mereka
balas dengan ucapan yang bijaksana”.
2. Dalam surat An-Nahl
ayat 23, yang artinya :
“Sesungguhnya Dia (Allah) tidak
menyukai orang-orang yang sombong (takabbur).
3. Dalam sebuah Hadits Riwayat Abu
Nai’m yang bersumber dari Abu Hurairoh, yang artinya :
“Barang siapa yang bertawadhu’
karena Allah niscaya Allah akan mengangkat derajatnya”.
Selain itu ada pula sebuah
Hadits yang artinya :
“Apakah kalian ingin
memberitahukan (mengenai) orang-orang yang diharamkan api neraka, atau api
neraka yang diharamkan baginya?.
(Yaitu) api neraka itu haram
bagi orang-orang yang dekat (kepada Tuhannya), merendahkan diri (kepada-Nya),
lemah lembut dan taat”
Dalam hal tawadhu’ ini Ibnu
Athilah pernah mengatakan:
“Hakekat orang yang tawadhu’
(merendahkan diri) itu adalah apa yang dia lakukan itu diri penglihatannya akan
kebesaran Allah dan kejelekan sifat-sifat-Nya”.
Lebih lanjut Ibnu At-Atho’illah
mengatakan :
“Tidak bisa mengeluarkan kamu
dari sifat sombong, kecuali (dengan) melihat sifat-sifat Allah”.
Memang benar apa yang dikatakan
Ibnu Atho’illah di atas. Sebab dengan hanya melihat kebesaran, keagungan dan
kesempurnaan Allah-lah (yakni dengan cara melihat dan memikirkan segala sesuatu
yang ada dan terjadi di sekitar kita), maka kita akan merasa, bahwa kita ini
kecil, lemah hina, tidak mempunyai apa-apa dan juga tidak mampu berbuat apa-apa
tanpa pertolongan dari-Nya.dan sebagai akhir dari pembahasan bab ini, marilah
kita bersama-sama berusaha mentauladani akhlaq rasulullah yang berikut ini :
-
Beliau
tidak segan-segan memberi salam kepada anak-anak, bercakap-cakap dan bersenda
gurau dengan mereka, sehingga kebanyakan di antara mereka menjadi manja kepada
beliau.
-
Di
dalam rumah tangganya, beliau tidak segan-segan untuk menyapu, mencuci, memberi
makan ternak, memeras susu kambing, berbelanja sendiri ke pasar, makan
bersama-sama dengan pelayan dan sebagainya.
-
Dalam
bepergian beliau tidak merasa malu untuk memberi salam terlebih dahulu walaupun
kepada orang miskin atau kepada orang lebih mudah dari beliau.
-
Sebagai
seorang Penglima Perang beliau juga turut membuat bparit untuk perlindungan
(ketika terjadi perang khondaq), ikut mencari kayu baker, memasak makanan dan
sebagainya.
-
Sebagai
seorang penguasa beliau tidak mau dibeda-bedakan. Terhadap hal ini hal ini
beliau pernah bersabda, yang artinya :
“Sesungguhnya Allah tidak mau
melihat hamba-Nya di beda-bedakan, diantara sesame kawannya”.
-
Ketika
kedatangan tamu, beliau sendirilah yang menerima, melayani dan menyuguhkan
hidangan untuk tamunya.
-
Dalam
sebuah pertemuan, beliau tidak mau duduk di tempat yang diistimewakan, tetapi
bercampur dengan kebanyakan orang. Dalam hal ini beliau bersabda, yang artinya
:
“Wahai kalian semua, Allah
telah (terlebih dulu) mengambil aku sebagai hamba-Nya sebelum Dia mengambil
Nabi dan Rasul-Nya”.
-
apabila
melakukan perjalanan bersama-sama sahabatnya. Beliau tidak mau berjalan paling
depan, juga tidak mau diiringkan. Ketika ada sahabatnya yang memintanya untuk
berjalan paling duluan, beliau mengatakan :
“Biarlah dibelakangku ada
malaikat yang mengikuti”.
-
apabila
mendapat undangan, beliau selalu menyempatkan diri untuk hadir, walaupun yang
mengundangnya itu dari kalangan orang miskin atau orang yang tidak
berkedudukan.
-
Beliau
tidak segan-segan untuk bergaul dengan siapa saja dan duduk-duduk bersama
mereka tanpa memandang status dan kedudukannya.
-
Pakaian
yang dikenakannya tidak pernah lebih bagus dari yang dipakai sahabt-sahabatnya.
-
Jika
bersenda gurau, beliau selalu menggunakan kata-kata yang baik dan tidak pernah
tertawa dengan terbahak-bahak, melainkan
dengan tersenyum saja.
-
Apabila
ada pengaduan dari umatnya, maka beliau akan memperhatikannya dengan teliti dan
akan berusaha menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya.
Demikian akhlaq terpuji yang
telah dicontohkan Rasulullah. Mudah-mudahan kita semua dapat mentauladaninya.
Artikel yang bagus.
BalasHapusJangan lupa kunjungi www.refiza.com
Ada banyak souvenir cantik untuk pengajian, haji, pernikahan.