Maa ahbabtu syai-an ilaakunta lahu ‘abdan wahuwa laayuhibbu
antakuuna lighairihi ‘abdan.
Artinya : “Tiadalah
kamu mencintai sesuatu melainkan kamu akan meenjadi budaknya, sedangkan Allah
tidak senang jika kamu menjadi budak selain dari padanya”.
Disamping memberi
rahmat, Allah juga memberikan cobaan-cobaan hidup kepada manusia, baik yang
berupa (musibah) maupun (kesenangan).
Karena kesenangan
itu merupakan cobaan, maka kita harus berhati-hati dalam menghadapinya. Jangan
sampai dia lalu menjebak dan memperbudak
diri kita, sehingga apapun akan kita lakukan untuk mendapatkannya.
Walaupun kesenangan
itu seringkali menggelincirkan manusia kedalam kesesatan, nama agaknya kebanyakan
orang masih lebih senang mendapatkan kesenangan dari pada mendapatkan musibah.
Hal ini berbeda sekali dengan sikap prang-orang yang (ma’rifat) kepada Allah yang mereka-mereka ini lebih senang
mendapat kesukaran dari pada mendapatkan kemudahan, karena dengan
kesukaran-kesukaran ini mereka dapat lebih ingat dan mendapatkan diri kepada
Allah.
Sehubungan dengan
ini ada beberapa hal yang perlu kita uraikan lebih lanjut. Hal-hal yang
dimaksud adalah :
1.
Ajaran tentang
adanya kehidupan di akhirat
Kehidupan di akhirat
itu sudah pasti adanya dan tidak perlu diragukan lagi kebenarannya. Di sanalah
tempat kita mempertanggung jawabkan segala macam perbuatan. Perbuatan baik atau
jahat, walaupun yang sekecil-kecilnya pasti akan mendapatkan balasan.
Dan sebagai saksi dari
segala macam perbuatan itu adalah tangan dan kaki kita sendiri. Hal ini
sebagaimana yang telah diterangkan Allah dalam Al-qur’an surat
Yasiin ayat 65, yang artinya :
“Pada hari itu Kami
tutup mulut mereka, dan tangan mereka berkata kepada Kami serta mereka menjadi
saksi atas apa yang telah mereka lakukan”.
Karena itu
beruntunglah seseorang yang ketika hidup, di dunia banyak berbuat kebaikan dan
mengerjakan amal sholeh. Sebab dengan amal sholeh dan perbuatannya itu mereka
akan merasakan kebahagiaan hidup yang kekal dan abadi untuk selama-lamanya.
Sebaliknya bagi
mreka yang ketika hidupnya banyak melakukan kemaksiatan, maka di akhirat itu
mereka akan merasakan siksa yang pedih yang juga akibat dari perbuatannya
sendiri. Mudah-mudahan kita bukan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang
demikian ini (Na’udlu Billaahi Min
Dlaalik).
2.
Ajaran mengenai
keduniaan.
Menurut Rasulullah,
kehidupan dunia ini ibarat taman bunga. Maka ada lima hal yang dapat membuat
taman bunga itu menjadi indah, semerbak dan harum mewangi. Kelima hal tersebut
adalah :
a.
Ilmunya para ulama
(Ilmul ‘Ulamaak).
Dengan ilmu yang
dimilikinya para ulama dapat membingbing dan menunjukkan umat kepada kebenaran
dan meninggalkan kebathilan.
b.
Adilnya para
penguasa (Adlul Umaroo’i).
Dengan kekuasaannya
itu para penguasa dapat melindungi yang lemah dan tidak membiarkan yang kuat
berbuat semena-mena, sehingga hubungan antara si lemah dan si nkuat tetap dapat
berjalan dengan harmonis.
c.
Ibadahnya para
hamba Allah (Ibaadatul ‘Aabidi).
Dengan ketentuannya
dalam beribadah, seorang hamba yang tentu saja merupakan anggota masyarakat
bisa menjalin hubungan dengan harmonis.
d.
Terpercayanya para
pedagang.(Amanatul Tujjaari).
Bila pedagang semuanya
berlaku jujur, tidak mengurangi timbangan. Tidak menyembungikan pada barang
yang dijualnya dan sebagainya, maka hal ini biasa memperindah taman bunga dunia
ini.
e.
Ketekunan para
buruh atau karyawan (Nashiihatul Mukhtarifiina).
Bila para buruh
atau karyawan itu mau melaksanakan kewajiban-kewajibannya dengan baik walaupun
tidak ada yang mengawasinya, maka hal ini tentulah dapat menjaga keharmonisan
hubungan antara si kaya dengan si miskin atau antara majikan dengan buruh,
sehingga tatanan kehidupan masyarakat tetap terjaga dengan baik.
Akan tetapi agaknya
(iblis) tidak senang melihat dan
semarak serta harmonis nya kehidupan dunia. Karena itu ia beserta bala
tentaranya lalu menyebarkan hama-hama penyakit yang bisa merusak taman bunga
dunia tersebut. Diantara hama-hama penyakit yang disebabkan itu adalah :
a. Dengki (Al-Hasadu).
Penyakit dengki ini
akan disebarkan oleh (iblis)
disamping ilmu para ulama agar supaya timbul kedengkian diantara mereka
sehingga ilmu yang dimilikinya tidak diganggunakan untuk kepentingan masyarakat
tetapi digunakan untuk menjatuhkan satu sama lain.
b.
Dlolim (adl-Dloolimu).
Penyakit ini
biasanya menyerang para penguasa sehingga tidak lagi berbuat adil tetapi malah
berbuat sewenang-wenang dan menindas kepada kaum yang lemah.
c.
Riya’ (Ar-Riyaa’u).
penyakit ini
biasanya menyerang para ahli ibadah, sehingga ibadahnya itu tidak lagi
ditunjukkan kepada Allah tetapi ditunjukkan kepada selain-Nya, seprti agar
mendapat pujian, atau simpati dari orang lain.
d.
Curang (AlKhiyaanatu).
Penyakit ini akan
menyerang kepada para pedagang, sehingga banyak diantara mereka yang berbuat
curang, mengurangi timbangan, menyembunyikan cacat atau cela orang-orang yang
dijualnya dan sebagainya demi untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan yang
sebesar-besarnya.
e.
Menyeleweng
(Al-Ingkaaru).
Penyakit itu akan
disebarkan dikalangan para buruh atau karyawan sehingga mereka menjadi malas
bekerja, dan kalau bekerja seenaknya sendiri atau jhanya bekerja ketika diawasi
oleh majikannya saja.
Walaupun kehidupan
di akhirat itu lebih penting dan lebih utama dari kehidupan dunia, namun Allah
tetap tidak membiarkan hamba-Nya mengalami kesengsaraan hidup di dunia. Hal ini
terbukti dengan firman-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat
Al-Qoshosh ayat 77, yang artinya :
“Carilah
kebahagiaan akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari
(kenikmatan) duniawi”.
Akan tetapi
terhadap kenikmatan hidup di dunia itu kita harus berhati-hati dalam
menyikapinya. Jangan sampai dengan kenikmatan itu lalu menjadikan hati kita
lupa dan malah menjauh dari pada Allah.
Ada (dua) hal yang apabila
kita bisa memanfaatkannya dengan baik, maka kedua hal itu akan menjadi (sumber) kebahagiaan hidup di dunia dan
di akhirat. Tetapi jika tidak dapat memanfaatkannya dengan baik, maka justru
akan menjadi sumber kesengsaraan.
Kedua hal tersebut
adalah :
Harta dan anak.
Kiranya tidak ada manusia yang tidak merindukan dan mencintai kedua hal
tersebut.
Dengan hartanya
seseorang bisa menunaikan (ibadah haji), membayar Zakat, mengeluarkan infaq,
shodaqoh, dan sebagainya, tetapi dengan hartanya juga seseorang bisa lebih
leluasa mengumbar (hawa nafsunya),
hidup hanya berfoya-foya, kikir, kufur nikmat, dan sebagainya.
Demikian juga
dengan (anak). Apabila ia dididik
dengan baik, diajari tentang hokum-hukum agama, diarahkan kepada kebenaran dan
sebagainya, maka insya Allah ia akan menjadikan anak yang sholeh yang kelak
akan mendo’akan kebahagiaan dan ampunan bagi kedua orang tuanya, serta menjadi
permata hati yang sedap dopandang. Tetapi bila anak tersebut. Diisia-siakan,
tidak mendapat perhatian, tidak dididik dengan baik, maka jangan salahkan anak
kalau kemudian ia menjadi sebab dari kesusahan dan kesengsaraan hidup orang
tua.
Firman Allah dalam Al-Qur’an surat al-Munafiqun ayat 9, yang artinya :
“Hai orang-orang
yang beriman, jagalah harta-hartamu dan anak-nakmu melalaikan kamu dari
mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah
orang-orang yang merugi”.
Terhadap hal ini,
seorang ahli hikmah mengatakan :
“Celaka orang yang
menjadi hambanya (dinar, dirham, istri dan baju (semuanya) celaka”.
Juga Junaid r.a.
pernah mengatakan :
“Sesungguhnya kamu
tidak akan mencapai hakekat ubudiyah selama kamu masih diperbudak oleh selain
Allah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar