Mataa waradatilwaridaatul-ilaahiyyatu ‘alaika hadamatil’awa-ida
‘alaika annalmuluuka idzaa akhaluu qryatin afsaduuha.
Artinya : “Ketika
dating warid ilahi (karunia Allah)
kepadamu, maka hilanglah kebiasaan-kebiasaan yang ada padamu. Dimisalkan
seperti dalam firman Allah (yang artinya) :Sesungguhnya raja-raja apabila
memasuki suatu negeri, pastilah mereka akan membinasakan (negeri yang
dimasukinya).
Apabila (warid
Ilahi) telah masuk ke dalam hati, maka segala macam kotoran yang ada di dalam
hati tersebut menjadi sirna. Dengan demikian kebiasaan-kebiasaan (buruk) yang
sering dilakukannya menjkadi hilang.
Warid (karunia) Allah itu bermacam-macam. Dan
yang paling besar dan tinggi nilainya adalah yang berupa (iman).
Tentang hakekat
iman ini Allah menerangkannya dalam Al-Qur’an
Surat
Al-Baqarah ayat 177, yang artinya :
“Sesungguhnya
kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaika,
kitab-kitab suci dan para nabi-nabi”. (Dan pada sebuah hadits ada satu tambahan
lagi, yakni iman kepada (Qodho) dan (Qodar)”.
Sehubungan dengan
hal ini prof. mahmud Syaltut pernah mengatakan :
“Islam adalah pokok
yang tumbuh di atasnya peraturan-peraturan syari’ah. Syari’ah itu ditumbuhkan
oleh keimanan. Dengan demikian tidaklah terdapat syari’ah dalam islam,
melainkan denganadanya keimanan, sebagaimana syari’ah itu tidak mungkin
berkembang melainkan dibawah ruang keimanan. Dengan demikian syari’ah tanpa
keimanan adalah laksana bangunan yang tinggi tanpa pondasi (dasar)”.
Iman yang sudah
meresap ke dalam hati akan menghasilkan akhlaq yang baik.
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang mengaitkan
iman dengan akhlaq yang baik. Hal ini berarti, bahwa keimanan itu erat
kaitannya dengan akhlaq.
Demikian juga
dengan yang terjadi pada hadits-hadits.
Diantaranya adalah
seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim berikut ini, yang
artinya :
“Barang siapa
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia mengucapkan kata-kata yang
baik atau bersikap diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
maka hendaklah dia menghormati tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada
Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya”.
Dalam hadits di
atas ada (tiga) hal yang pokok yang menjadi perhatian utama. Ketiga hal
tersebut adalah :
1.
memelihara diri
dari perkataan-perkataan yang tidak baik.
Perkataan adalah
kunci utama dalam hubungan antar manusia, karena itu demi menjaga hubungan baik
diantara sesame manusia, maka Allah memerintahkan hamba-Nya agar selalu
memelihara dan menjaga diri dari perkataan-perkataan yang menyakitkan hati,
mengandung dusta, fitnah, hasutan, dan sebagainya :
-
terdpat dalam surat
Al-Baqaraoh ayat 83, yang artinya :
“ucapkanlah
perkataan yang baik terhadap manusia”.
-
Juga dalam Surat Al-Ahzab
ayat 70, yang artinya :
“Hai orang-orang
yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan-perkataan
yang benar”.
Sedangkan
Hadits-hadits yang membicarakan hal ini diantaranya adalah :
-
Hadits riwayat Ahmad, yang artinya : “Tidak bisa tegak lurus iman
seorang hamba sehingga lurus pula hatinya, dan hati itu tidak bisa lurus
sebelum lidahnya lurus (jujur)”.
-
Hadits riqayat Bukhary, yang artinya : “berbahagialah orang-orang yang
mengamalkan ilmunya, yang memanfaatkan sebagian harta bendanya, dan yang dapat
mengendalikan perkataan yang berlebih-lebihan”.
Menurut prof.
‘Athiyah Al-Abrasy, dalam kitabnya yang berjudul Ruhul Islam, ada (tiga) hal yang perlu di jauhi dalam
ucapan-ucapan, karena ucapan-ucapan ini paling dimurkai Allah dan paling
dibenci manusia.
Ketiga hal tersebut
adalah :
-
berdusta, menggunjing dan memfitnah.
-
Mengucapkan perkataan-perkataan yang tiada berguna dan tidak ada artinya.
-
Mengucapkan kata-kata dengan keras, kasar dan berada tinggi,
terutama terhadap orang-orang yang lebih tua dan patut dihormati.
2. Menghormati dan berbuat baik kepada tetangga.
Menghormati dan
berbuat baik kepada tetangga merupakan hal yang amat penting yang harus selalu
diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan karena pentingnya, kewajiban
ini disejajarkan dengan kewajiban berbuat baik terhadap (Ibu Bapak), sanak
famili, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin.
Tetangga itu
mempunyai andil yang cukup besar dalam menentukan kebahagiaan hidup seseorang.
Karena itu Rasulullah menganjurkan agar sebelumnya mendirikan rumah (tempat
tinggal) hendaklah terlebih dahulu memilih tetangga yang lebih baik. Hal ini
sebagaimana beliau, yang artinya :
“(Pilihlah) terlebih dahulu tetangga sebelum (memilih) tempat tinggal”.
Dan dalam hadits
lain yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah SAW. Bersabda, yang artinya :
“Demi Allah, tidak
beriman…………demi Allah, tidak beriman……….demi Allah, tidak beriman……..dinyatakan
: Ya Rasulullah, siapakah sesungguhnya yang sia-sia dan menderita kerugian yang
demikian itu?. Nabi menjawab : Orang yang membuat tetangganya tidak merasa aman
dari gangguan-gangguannya. Para sahabat
bertanya :apakah yang dimaksud dengan gangguan-gangguannya itu? Nabi benjawab :
Kejahatan-kejahatan”.
Juga dalam sebuah
hadits riwayat Ahmad, Al-Bazzar dan Ibnu Hibban diceritakan, bahwa ada seorang
wanita yang rajin mengerjakan shalat, berpuasa, bersedekah dan lain-lain,
tetapi ia masuk kedalam neraka. Para sahabat
bertanya : kenapa bisa jadi demikian Ya Rasulullah? Jawab Nabi : karena ia suka
menyakiti hati tetangganya, baik dengan perbuatannya maupun dengan
ucapan-ucapannya. Dan ada pula seorang wanita yang tidak begitu taat dalam
mengerjakan shalat, puasa, dan sebagainya, tetapi ia masuk syurga. Menurut
Rasulullah, hal ini bisa terjadi karena wanita tersebut suka berbuat baik dan
menyenangkan hati tetangganya.
3. Menghormati para
tamu
Menurut ajaran
islam, kewajiban menerima, menghormati dan melayani selama (tiga hari)
berturut-turut. Dan selebihnya merupakan shodakoh yang sangat dianjurkan.
Dan Al-Qur’an Surat
Az-Zaariyat ayat 24-30 dikisahkan sebagimana Nabi Ibrahim menerima
kedatangan seorang tamu yang sama sekali belum dikenalnya. Walaupun demikian,
beliau merasa wajib untuk menghormati dan melayaninya dengan baik dan kemudian
bahwa tamu yang datang itu adalah malaikat yang sengaja Allah kepada Nabi
Ibrahim dengan menyamar sebagai manusia.
Selain itu banyak
juga riwayat-riwayat yang menerangkan tentang kewajiban-kewajiban menghormati
tamu ini. Diantaranya adalah sebagai berikut ini :
“Pada suatu malam
Rasulullah kedatangan seorang tamu. Akan tetapi pada saat itu Rasulullah tidak
mempunyai persediaan apa-apa kecuali hanya air minum saja. Karena tidak ingin
mengecewakan tamunya, lalu beliau menawarkan kepada para sahabatnya, siapakah
kiranya yang bersedia menjamu tamunya. Kemudian ada seorang sahabat Anshar yang
menyatakan kesediannya dan membawa tamu tersebut. Pulang kerumahnya.
Sesampainya dirumah, sahabat tadi bertanya kepada istrinya :
“masih adakah
makanan untuk dihidangkan kepada tamu Rasulullah ini”?. Jawab sang istri
:”Masih ada, tetapi makanan itu untuk persediaan anak kita”. Kalau begitu lekas
kau tidurkan anak kita. Dan setelah itu hidangkan makanan yang ada itu kepada
tamu Rasulullah dan letakkan pula satu piring kosong dihadapanku. Kemudian pada
saat akan meletakkan kedua piring itu,
si istri memadamkan lampu dengan alas an kehabisan minyak, padahal tujuan
sebenarnya adalah agar tamu Rasulullah tadi tidak mengetahui, bahwa piring si
tuan rumah dalam keadaan kosong dan hanya berpura-pura maka untuk menyenangkan
hati tamunya”.
Demikian
tunggi akhlaq para sahabat di zaman
Rasulullah dahulu, hingga rela berbuat seperti yang diceritakan di atas tadi.
Hal ini berbeda
sekali dengan yang terjadi dikalangan masyarakat dewasa ini. Kalau tamu yang
datang berkedudukan tinggi, kaya, pengaruh dan sebagainya. Maka akan dihormati
dan diberi hidangan yang mewah dan berlebih-lebihan, sebaliknya kalau tamu yang
datang itu dari kalangan orang miskin dan tidak terpandang, maka disambut dan
dijamu ala kadarnya saja. Padahal menurut ajaran islam, menghormati memulyakan
tamu itu tidak boleh pandang bulu.
Kembali kepada soal
keimanan, menurut Ibnu Tamiah, Iman itu mempunyai (3) macam tingkatan, yaitu :
1.
pertama, Iman yang berdasarkan pada pengetahuan semata tetapi
belum meresap kedalam hati.
2.
Kedua, Iman yang sudah meresap kedalam hati dan sudah berpengaruh
kepada kehidupan sehari-hari.
3.
Ketiga, sudah dapat menghayati dan merasakan lezatnya Iman
sebagaimana orang yang kelaparan merasakan makanan.
Mengenal lezatnya
Iman ini baru dapat dirasakan setelah seseorang melakukan tiga hal, sebagaimana
yang tersebut dalam Hadits riwayat Bukhari dan Muslim berikut ini, yang artinya
:
“Barangsiapa yang
terdapat padanya tiga perkara, maka dia akan merasakan kemanisan (kelezatan) Iman. (ketiga perkara itu adalah) :
1.
Mencintai Allah dan Rasulul-Nya, melebihi cintanya dari yang lain.
2.
Mencintai manusia karena cintanya kepada Allah.
3.
Benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya
dilemparkan ke dalam api”.
Menurut Rasyyid
Ridho. Jalan untuk menumbuhkan kecintaan kepada Allah itu ada beberapa macam,
diantaranya : Memperbanyak Dzikir (ingat) kepada-Nya, menyelami lautan hikmah
yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, membiasakan diri melaksanakan syari’ah
dengan baik, merenungkan rahasi-rahasia dan hikmah alam raya yang telah
diciptakan-Nya, dan ketika melihat sesuatu yang indah, yang baik atau menawan
maka timbul perasaan bahwa semuanya itu
merupakan karunia dari Allah.
Akhirnya sehubungan
dengan warid ini akan kami kemukakan pernyataan dari syeikh Ibnu Atho’ berikut
ini, yang artinya :
“warid itu datang
dari AllahYang Maha Perkasa. Oleh karena itu tidak ada sesuatupun yang dapat
melawannya, melainkan warid itu (sendiri) yang akan membinasakannya,
sebagaimana halnya (firman Allah yang artinya) : Sebenarnya Kami melontarkan
yang (haq) kepada yang (bathil) lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan
serta nerta yang bathil itu menjadi lenyap”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar