In aradat an laatu’zala falaa tatawalla wilaayatan laataduumulaka.
Artinya : Apabila
kamu menghendaki agar tidak disingkirkan, maka janganlah kamu menguasai jabatan
yang tidak kenal bagimu”.
Seseorang yang
sempurna akalnya, tentulah merasa enggan atau bahkan menolak apabila diserahi
tugas untuk memegang suatu jabatan. Sebab nampaknya saja jabatan itu
menyenangkan. Karena dapat membuat orang menjaditerpandang, berpenghasilan
besar dan sebagainya.
Akan tetapi dibalik
itu, jabatan mempunyai tanggung jawab yang besar yang harus dipertanggung
jawabkan kelak di hadapan pengadilan Allah. Semakin tinggi jabatan yang
dipegangnya, semakin besar pula tanggung jawabnya.
Berkaitan dengan
tanggung jawab ini, Rasulullah SAW. Telah bersabda sebagaimana yang tersebut
dalam Hadits riwayat Bukhari berikut ini, yang artinya :
“Kamu semua adalah
pengembala (pemimpin) dan kamu semua
kelak akan ditanya tentang pengembalaannya. Kepala Negara adalah pengembala dan
akan ditanya tentang pengembalaannya (rakyatnya).
Orang laki-laki adalah pengembala
keluarganya dan akan ditanya tentang pengembalaannya. Dann orang perempuan adalah pengembala didalam
rumah suaminya dan akan ditanya tentang pengembalaannya (perihal rumah tangganya)”.
Berdasarkan Hadits
di atas ada beberapa macam pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawabannya.
Di antaranya yaitu :
1.
kepala Negara atau
pemimpin umat.
Yang dimaksud
kepala Negara disini adalah dalam arti luas, bukan dalam arti sempit. Jadi
dengan demikian kepala daerah, kepala desa, atau kepala kampong sekalipun juga
termasuk didalamnya.
Menjadi kepala
Negara tidaklah sesenang yang dibayangkan orang. Karena dipundak merekalah
amanat rakyat dibebankan. Seorang kepala Negara yang bertanggung jawab adalah
yang mendahulukan dan memperhatikan rakyatnya dengan tak pandang bulu. Ia juga
yang seharusnya paling dulu merasakan penderitaan dan kesengsaraan sebelum
dirasakan rakyatnya, tetapi paling akhir merasakan kesenangan sebab kesenangan
itu harus dirasakan terlebih dahulu oleh rakyatnya yang sebagaimana jika sedang
berperang, maka yang harus maju terlebih dahulu. Tetapi ketika sedang
mengundurkan diri, maka ia harus berada dibarisan paling belakang.
Salah satu contoh
yang patut ditiru oleh seorang kepala Negara atau pemimpin umat adalah seperti
kepemimpinan (Kholifah Umar bin
Khothob).
Seorang kepala
Negara yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan tertinggi, beliau tak segan-segan
menyamar sebagai penduduk biasa dan berjalan kaki menyusuri kampong demi kampong
pada malam hari seorang diri untuk melihat dengan mata kepala sendiri keadaan
rakyatnya, hingga pada suatu malam beliau melihat sebuah kemah kecil dipinggir
jalan.
Oleh Kholifah Umar
didekatinya kemah itu dan nampaklah olehnya, bahwa didepannya duduk termenung
seorang laki-laki, sedang dari dalamnya terdenganr erangan seorang wanita yang
merintih-rintih kesakitan. Mendengar iru. Kholifah Umar lalu menanyakannya pada
laki-laki yang duduk di depan kemah tersebut yang kemudian dijawabnya :”Saya
adalah orang asing yang sedang mengembara. Saya bermaksud menghadap kholifah
Umar untuk meminta perhatian beliau terhadap nasib kami sekeluarga”.Lalu
siapakah wanita yang mengerang menderita seperti itu?”Tanya Kholifah Umar.
“Wanita itu adalah istri saya. Dia hendak melahirkan, tetapi kami tidak
mempunyai bekal sedikitpun, baik makanan atau pakaian untuk menyambut kelahiran
sang bayi”. Mendengar hal ini Kholifah Umar segera pulang kerumahnya dan
bercerita kepada istrinya tentang kejadian yang baru saja dilihatnya.”kalau
begitu”, kata istrinya<” biarkan saya yang membantu kelahirannya”. Kemudian
Kholifah Umar beserta istrinya bergegas kembali ke kemah tadi dengan membawa
bekal makanan, pakaian bayi, dan juga obat-obatan. Begitu sampai di tempat
kemah itu istri Kholifah Umar langsung turun tangan membantu wanita tadi untuk
melahirkan, sedang Kholifah Umar sendiri memasakkan masakan yang dibawanya
tadi. Setelah segalanya selesai dengan selamat, barulah laki-laki asing beserta
istrinya tadi mengetahui, bahwa yang menolongnya itu tidak lain adalah Kholifah
Umar sendiri beserta istrinya. Ketika Kholifah Umar berpamitan hendak pulang,
laki-laki itu bertanya:”apakah Baginda mengurus kepentingan keluarga sendiri
seperti mengerus kepentingan kami?”Kholifah Umar tidak menjawabnya secara
langsung, tetapi beliau mengucapkan kata-kata yang penuh hikmah:”barangsiapa
yang dipercayakan memegang urusan-urusan kaum muslimin, maka seharusnya dia
memperhatikan kepentingan-kepentingan orang banyak, baik orang-orang yang lemah
maupun orang-orang yang kuat. Dia bertanggung jawab terhadapnya. Apabila
dilupakannya, maka hal itu adalah kerugian besar baginya di dunia dan akhirat
kelah”.
Terhadap yang
dilakukan dan dikatakan Kholifah Umar di atas, Dr. athiyah Al-Abrasy mengatakan
sebagaimana yang terdapat dalam “Ruhul Islam” berikut ini : Adakah satu sifat
kepemimpinan dan kerendahan hati yang melebihi dari apa yang dilakukan Kholifah
Umar itu?. Seorang kepala Negara yang mempunyai kedudukan tertinggi yang
seharusnya kemana-mana selalu dikawal dan dilayani kebutuhannya, telah
bersama-sama dengan istrinya menolong dan melayani kebutuhan orang lain yang
sedang kesusahan pada saat manusia yang lain sedang enak-enaknya tidur”.
2.
Suami bertanggung
jawab terhadap keluarganya.
DI dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 34 Allah berfirman,
yang artinya :
“Laki-laki (suami) adalah pemimpin atas kaum
perempuan (istrinya) karena Allah
telah melebihkan dari mereka atas sebagian yang lain, dan dengan sebab apa yang
mereka bafkahkan dari harta benda mereka”.
Yang dimaksud dari
ayat adalah, tanggung jawab suami itu tidak hanya terbatas pada soal-soal lahir
saja seperti makan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya, akan tetapi juga
bertanggung jawab terhadap soal-soal batin, seperti memberikan ketenangan,
mengajarinya dalam memahami hokum-hukum agama, membimbingnya dalam melakukan
kewajiban-kewajibannya dan sebagainya.
Selain itu seorang suami juga bertanggung
jawab terhadap anak-anaknya, bukan saja terhadap kebutuhan jasmaninya tetapi
terutama sekali terhadap kebutuhan rohaninya, seperti kasih saying, pendidikan
yang baik, petunjuk-petunjuk kea rah kebaikan, dan sebagainya.
Firman Allah dalam Al-qur’an Surat At-Tahrim ayat 6, yang artinya :
“Peliharalah diri
dan keluarganya dari api neraka”.
3.
Istri bertanggung jawab
terhadap rumah tangga suaminya.
Sudah menjadi
kodratnya, bahwa kaum wanita mempunyai watak yang lebih sabar, lebih tenang,
lebih perasa dan lebih berhati-hati dalam menghadapi setiap permasalahan.
Karena itu tak
salah, apabila agama islam membebankan tugas mengasuh dan mendidik anak kepada
seorang wanita (ibu) sebab kaum
wanita lebih dapat mencu rahkan kasih sayang dan perhatiannya, serta lebih bisa
mengarahkan perkembangan kewajiban seorang anak.
Sehubungan dengan
hal ini, Imam Ghozali mengemukakan dalam (hya’Ulumuddin, bahwa tugas dan
tanggung jawab seorang istri itu diantaranya yang terpenting itu adalah :
-
Berlaku sederhana dan tidak berlebih-lebihan.
-
Tidak boros.
-
Memelihara hubungan baik dengan keluarga kedua pihak (keluarga
suami dan keluarga sendiri).
-
Mengasuh dan mendidik anaknya dengan sebaik-baiknya.
-
Menyimpan rahasi-rahasi suami dan rahasia kelaurganya dengan
serapat-rapatnya.
-
Selain itu juga tidak boleh menerima tamu laki-laki tanpa disertai
suami atau muhrimnya.
Adapun sudah
menjadi tabiat manusia, dia mudah terpengaruh, tergoda dan akhirnya terpedaya
oleh tiga hal, yaitu harta, tahta dan wanita.
Pada umumnya,
manusia menyukai dan berharap akan mendapatkan ketiga hal di atas untuk
memuaskan dan menyenangkan hidupnya, padahal semuanya itu hanyalah tipu daya
yang menyesatkan.
Syeikh Ibnu atho’
pernah mengatakan :
“Apabila
menggembirakan pada permulaannya kepadamu, maka (hal itu) akan menjemukan
kesudahannya kepadamu. Dan apabila menarik keadaan lahirnya kepadamu, maka pada
keadaan batinnya akan mencegahmu”.
Seringkali orang
merasa bangga dan senang dengan jabatan, bahkan saking senangnya hingga lupa
bahwa semuanya itu pada akhirnya akan dihisab (diperhitungkan) oleh Allah.
Pada lahirnya,
kekuasaan atau jabatan itu memang manarik. Karena itu banyak sekali orang yang
mencari dan memburunya walaupun untuk itu ia terpaksa harus mengorbankan agama
atau akidahnya.
Tetapi lain halnya
dengan orang ma’rifat. Ia sama sekali tidak tertarik dengan segala macam
pangkat, jabatan atau kekuasaan. Maka ia akan berusaha untuk melepaskan diri
dari jabatan-jabatan yang disandangnya sebab hal itu merupakan amanat yang
sangat berat, yang jarang sekali orang bisa selamat dari bahaya fitnah,
kecurigaan, kezaliman dan semacamnya.
Karena itu bagi
para pemegang jabatan atau kekuasaan hendaknya bisa menjalankan tugasnya dengan
baik, berlaku adil dan tidak menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan
pribadi, serta mendasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaannya menurut hukum agama.
Secara umum, adil
itu diartikan sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya, tidak berat sebelah
dan tanpa pandang bulu.
Sedangkan menurut
Syayyid Quthub, adil itu adalah suatu sikap yang tidak menunjukkan kecondongan
cinta atau marah, tidak merobah ketentuan-ketentuan karena kasih sayang atau
benci. Adil itu tidak mempengaruhi pandangan karena pertimbangan-pertimbangan
kekeluargaan, tidak menaruh kebencian antara kaum-kaum. Tidak membedakan
manusia karena bangsanya, keturunannya, hartanya, pangkatnya, dan sebagainya.
Antara yang satu dengan yang lain doperlakukan sama.
Telah sering
diucapakan dan didengungkan keadilan. Baik adil dalam pembagian (pemberian)
maupun dalam menjatuhkan hukuman. Siapapun yang berhak diberi sesuai dengan
haknya dan siapapun yang bersalah dijatuhi hukuman yang setimpal dan sesuai
dengan undang-undang yang berlaku. Jangan sampai ada penguasa yang berlaku
sebagaimana yang pernah dikatakan oleh pujangga terkenal yang bernama Umar
Khayyam :
“pencuri-pencuri
kembang di taman bunga dijatuhi hukuman, sedang pencoleng-pencoleng berlian di
istana Raja-raja di biarkan berkeliaran”.
Tindakan-tindakan seperti di
atas itu jika dibiarkan berlarut-larut dan berkelanjutan, maka akan dapat
menjadi sebab dari kehancuran suatu bangsa atau suatu kaum. Hal ini sebagaimana
yang dikatakan oleh Rasulullah dalam sebuah Hadits, yang artinya :
“Bahwasanya kehancuran, umat
yang terdahulu ialah karena menghukum pencuri-pencuri yang lemah (kecil), sedang pencuri-pencuri cabang
atas (besar), mereka biarkan saja”.
Perhatikan firman Allah dalam Al-Qur’an surat an-Nisaa’ ayat 135, yang artinya :
“Hai orang-orang beriman,
hendaklah kalian menjadi orang-orang yang teguh menegakkan keadilan, menjadi
saksi kebenaran karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau Ibu Bapakmu
atau kerabatmu, ataupun pada orang kaya orang miskin, karena Allah lebih dekat
kepadanya. Sebab itu janganlah kamu turutkan hawa nafsu untuk tidak berlaku
adil”.
Demikianlah, Allah telah
memerintahkan hamba-Nya untuk selalu menegakkan kebenaran. Dan perintah ini
telah dilaksanakan Rasulullah dengan sebaik-baiknya agar ditiru oleh umatnya,
hingga beliau pernah mengatakan:”Seandainya putrid saya Fatimah mencuri, maka
terhadap dia pun saya jalankan hukuman potong tangan”.
Jika seorang penguasaha mau
meniru atau mencontoh kepemimpinan Rasulullah dalam menegakkan keadilan
tersebut, maka percayalah, ketenangan dan ketenraman hidup akan anda rasakan.
Sebab apalah artinya harta yang bertumpuk dan jabatan yang tinggi kalau hanya
memusingkan kepala dan meresahkan hati?
Jabatan atau kekuasaan itu
merupakan amanat. Dan amanat itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan
sejujur-jujurnya.
Berikut ini adalah beberapa
contoh kejujuran seseorang penguasa seorang rakyat bisa dan seorang sudagar
(pedagang) dalam memegang amanat yang patut kita teladani bersama. Di antaranya
:
1.Kejujuran
seorang penguasa.
Pada zaman pemerintahan Bani
Umayyah ada seorang Kholifah bernama Umar bin Abdul Aziz yang sangat jujur,
adil, dan bijaksana. Beliau selalu memusatkan pikiran dan perhatiannya untuk
kepentingan rakyatnya, hidupnya sangat sederhana dan tidak segan-segan
melaksanakan tugas-tugasnya seorang diri sampai jauh malam.
Pada suatu malam, ketika baliau
sedang berda dikantornya menyelesaikan tugas-tugas kenegaraan, tiba-tiba
masuklah salah seorang putranya yang bermaksud hendak membicarakan urusan
keluarganya.
Tetapi sebelum pembicaraan itu
dimulai, Kholifah Umar bin Abdul Aziz terlebih dulu memadamkan lampu yang ada
diruangan itu sehingga gelap gulita. Melihat hal ini, dengan terheran-heran
putranya berkata : “Mengapa Ayah memadamkan lampu ini?. Bukankah lebih nyaman
kita bicara dirungan yang terang?”. Memang lebih nyaman diruangan yang terang”.
Saut Kholifah,” akan tetapi taukah kamu lampu siapa yang menyala diruangan
ini?. Lampu milik Negara, minyak yang dipakai juga dibeli dari uang Negara.
Sedangkan yang hendak engkau bicarakan itu adalah urusan keluarga. Maka tidak
boleh kita menggunakannya.
Tidak lama kemudian, Kholifah
Umar memanggil pelayannya dan menyruhnya mengambilkan lampu dari ruangan dalam.
Setelah lampu itu dinyalakan, kholifah lalu berkata :”Lampu ini adalah milik
kita pribadi dan minyaknya juga dibeli dengan uang pribadi. Karena itu kita pun
bebas memakainya”.
Demikianlah kehati-hatian
Kholifah Umar bin Abdul Aziz dalam mengemban suatu amanat. Beliau sama sekali
tidak mau mencampurkan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan Negara.
1. Kejujuran
seorang pengembala kambing.
Suatu ketika, Kholifah Umar bin
Khothob berjalan keluar masuk kampong untuk melihat-lihat keadaan rakyatnya.
Dalam perjalanannya itu beliau
tiba disuatu padang rumput dan disana dilihatnya seorang anak yang sedang
mengembala kambing demikian bangaknya hingga sulit untuk menghitungnya.
Oleh Kholifah Umar didekatinya
pengembala itu dan dikatakan kepadanya:”Juallah kepadaku kambingmu itu seekor
saja”. Tidak”, jawab pengembala itu.”kambing-kambing itu bukan milik saya, tapi
milik majikan saya”.Hanya seekor saja, desak Kholifah Umar,”Toh majikanmu tidak
akan mengetahuinya. Dan kalau ditanyakan, katakana saja bahwa kambingnya itu
diterkan oleh serigala, dengan begitu engkau akan terlepas dari hukuman serta
mendapatkan uang untuk bersenang-senang”.
Akan tetapi secara mengejutkan
pengembala kecil itu menjawab.”Memang majikanku tidak akan mengetahuinya, tapi
dimanakah Allah?”.
Kholifah Umar benar-benar
tersentak mendengar jawaban itu. Seketika itu juga beliau minta agar diantarkan
kepada majikannya. Dan sesampainya di sana ditebusnya budak pengembala itu dan
dimerdekakannya. Setelah itu barulah pengembala kambing tadi mengetahui, bahwa
orang yang membujuknya dan yang kemudian memerdekakannya. Adlah Kholifah Umar
bin Khothob sendiri, orang yang selama ini ia kagumi dan ia hormati.
Demikianlah pahala dari (kejujuran). Di dunia saja telah dapat
membebaskan seseorang dari perbudakan. Dan tentunya di akhirat nanti akan dapat
membebaskannya dari siksa apai Neraka.
2. Kejujuran
seorang pedagang (saudagar).
Pada zaman tabi’in dulu ada
seorang saudagar perhiasan bernama Yusup bin Ubaid. Ketika akan melaksanakan
shalat, dia menyeruh salah seorang saudagarnya untuk menunggu tokonya barang
sebentar.
Ketika ditunggu oleh saudaranya
itulah ada seorang dari suku Baduwi yang membeli sebuah perhiasan seharga (400) dirham, padahal harga yang
sebenarnya Cuma (200) dirham.
Dalam perjalanan pulang, si
baduwi itu bertemu dengan Yunus bin Ubaid yang segera mengenalinya, bahwa
perhiasan yang dibawanya itu dibeli dari tokonya. Melihat perhiasan itu, Yunus
berkata:”jawab si Baduwi itu membeli perhiasan itu?!”empat ratus dirham”, jawab
si baduwi itu dengan bangga yunus kaget, “Perhiasan itu harganya Cuma (200) dirham. Dan saya tahu, engkau
membelinya di took saya. Karena itu mari kita kembali ke sana untuk mengambil kelebihan uang yang kau
bayarkan itu”.
Akan tetapi di Baduwi itu menolak
sambil berkata : Biarlah, aku merelakan kelebihan uang itu. Sebab dikampung
saya perhiasan seperti ini paling murah harganya (500) dirham. Namun Yunus bin Ubaid tidak mau melepaskan Baduwi itu
dan terus mendesaknya agar mau mengambil kembali sisa uangnya. Karena mendesak
terus, akhirnya si Baduwi itu pun mau mengambilnya.
Begitu si Baduwi itu pulang,
yunus bin Ubaid langsung memarahi saudaranya itu :”Apakah engkau tidak malu dan
takut kepada Allah dengan menjual barang seharga dua kali lipat dari harga
sebenarnya?”.”dia sendiri yang mau membayarnya dengan harga sekian itu” bela
saudaranya.”yaa…”sahut Yunus,”tetapi di atas pundak kita terpikul satu manat
dari Allah untuk memperlakukan orang lain seperti memperlakukan saudaranya
sendiri”.
Demikianlah keteladanan seorang
saudagar yang seharusnya menjadi cintoh atau teladan bagi saudagar-saudagar
lain.
A.
AKIBAT MENYIA-NYIAKAN ATAU
MENYELEWENGKAN AMANAH
Akibat yang ditimbulkan dari
penyelewengan sesuatu amanah itu tergantung kepada amanah yang dibebankannya. Jika
menyangkut hubungan antar seseorang, maka kerusakannya paling tinggi dirasakan
oleh dua orang yang bersangkutan beserta keluarganya. Tetapi bila amanah itu
menyangkut orang banyak, seperti pemimpin Negara atau pemimpin umat, maka
akibatnya pun akan dirasakan oleh orang banyak.
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari, yang artinya :
“Apabila amanah itu
disia-siakan, maka akan timbullah kehancuran”.
Selanjutnya dalam Hadits
tersebut dinyatakan :
“Dinyatakan orang : Ya
Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan menyia-nyiakan pada orang yang bukan
ahlinya”.
Sehubungan dengan hal ini,
Sayid Jamaluddin Al-Afghoni dalam bukunya yang bejudul “Araddu’Alad-Dahrin”
mengatakan:
“pembinaan masyarakat insani
yang kuat dan abadi hanyalah dapat ditegakkan di atas dasar hubungan dan tujuan
yang paling mendatangkan manfaat. Adapun jiwa dan (roh) hubungan yang demikian
itu ialah amanah. Apabila amanah itu rusak, maka batallah segala ikatan
hubungan, dan putuslah tali temali tujuan yang baik. Tatasusunan kehidupan akan
berantakan, dan pembinaan masyarakat insani pun akan segera mengalami
kehancuran”.
Karena itu seseorang yang
dipundaknya telah terbebani suatu amanah, maka hendaklah ia pikul amanat itu
dengan sebaik-baiknya dan tidak menyalahgunakan atau menyelewengkannya, agar
tatanan kehidupan pribadi dan masyarakat tetap terpelihara dengan rapi, dan
teruama lagi di akhirat nanti bisa terbekas dari tuntunan illahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar