Rahmat Mulyadi

Rahmat Mulyadi

Sabtu, 20 April 2013

188.TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB BAGI PARA PEMEGANG JABATAN



In aradat an laatu’zala falaa tatawalla wilaayatan laataduumulaka.

Artinya : Apabila kamu menghendaki agar tidak disingkirkan, maka janganlah kamu menguasai jabatan yang tidak kenal bagimu”.

Seseorang yang sempurna akalnya, tentulah merasa enggan atau bahkan menolak apabila diserahi tugas untuk memegang suatu jabatan. Sebab nampaknya saja jabatan itu menyenangkan. Karena dapat membuat orang menjaditerpandang, berpenghasilan besar dan sebagainya.
Akan tetapi dibalik itu, jabatan mempunyai tanggung jawab yang besar yang harus dipertanggung jawabkan kelak di hadapan pengadilan Allah. Semakin tinggi jabatan yang dipegangnya, semakin besar pula tanggung jawabnya.
Berkaitan dengan tanggung jawab ini, Rasulullah SAW. Telah bersabda sebagaimana yang tersebut dalam Hadits riwayat Bukhari berikut ini, yang artinya :
“Kamu semua adalah pengembala (pemimpin) dan kamu semua kelak akan ditanya tentang pengembalaannya. Kepala Negara adalah pengembala dan akan ditanya tentang pengembalaannya (rakyatnya). Orang laki-laki adalah pengembala keluarganya dan akan ditanya tentang pengembalaannya. Dann orang perempuan adalah pengembala didalam rumah suaminya dan akan ditanya tentang pengembalaannya (perihal rumah tangganya)”.

Berdasarkan Hadits di atas ada beberapa macam pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawabannya. Di antaranya yaitu :
1. kepala Negara atau pemimpin umat.
Yang dimaksud kepala Negara disini adalah dalam arti luas, bukan dalam arti sempit. Jadi dengan demikian kepala daerah, kepala desa, atau kepala kampong sekalipun juga termasuk didalamnya.
Menjadi kepala Negara tidaklah sesenang yang dibayangkan orang. Karena dipundak merekalah amanat rakyat dibebankan. Seorang kepala Negara yang bertanggung jawab adalah yang mendahulukan dan memperhatikan rakyatnya dengan tak pandang bulu. Ia juga yang seharusnya paling dulu merasakan penderitaan dan kesengsaraan sebelum dirasakan rakyatnya, tetapi paling akhir merasakan kesenangan sebab kesenangan itu harus dirasakan terlebih dahulu oleh rakyatnya yang sebagaimana jika sedang berperang, maka yang harus maju terlebih dahulu. Tetapi ketika sedang mengundurkan diri, maka ia harus berada dibarisan paling belakang.
Salah satu contoh yang patut ditiru oleh seorang kepala Negara atau pemimpin umat adalah seperti kepemimpinan (Kholifah Umar bin Khothob).
Seorang kepala Negara yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan tertinggi, beliau tak segan-segan menyamar sebagai penduduk biasa dan berjalan kaki menyusuri kampong demi kampong pada malam hari seorang diri untuk melihat dengan mata kepala sendiri keadaan rakyatnya, hingga pada suatu malam beliau melihat sebuah kemah kecil dipinggir jalan. 
Oleh Kholifah Umar didekatinya kemah itu dan nampaklah olehnya, bahwa didepannya duduk termenung seorang laki-laki, sedang dari dalamnya terdenganr erangan seorang wanita yang merintih-rintih kesakitan. Mendengar iru. Kholifah Umar lalu menanyakannya pada laki-laki yang duduk di depan kemah tersebut yang kemudian dijawabnya :”Saya adalah orang asing yang sedang mengembara. Saya bermaksud menghadap kholifah Umar untuk meminta perhatian beliau terhadap nasib kami sekeluarga”.Lalu siapakah wanita yang mengerang menderita seperti itu?”Tanya Kholifah Umar. “Wanita itu adalah istri saya. Dia hendak melahirkan, tetapi kami tidak mempunyai bekal sedikitpun, baik makanan atau pakaian untuk menyambut kelahiran sang bayi”. Mendengar hal ini Kholifah Umar segera pulang kerumahnya dan bercerita kepada istrinya tentang kejadian yang baru saja dilihatnya.”kalau begitu”, kata istrinya<” biarkan saya yang membantu kelahirannya”. Kemudian Kholifah Umar beserta istrinya bergegas kembali ke kemah tadi dengan membawa bekal makanan, pakaian bayi, dan juga obat-obatan. Begitu sampai di tempat kemah itu istri Kholifah Umar langsung turun tangan membantu wanita tadi untuk melahirkan, sedang Kholifah Umar sendiri memasakkan masakan yang dibawanya tadi. Setelah segalanya selesai dengan selamat, barulah laki-laki asing beserta istrinya tadi mengetahui, bahwa yang menolongnya itu tidak lain adalah Kholifah Umar sendiri beserta istrinya. Ketika Kholifah Umar berpamitan hendak pulang, laki-laki itu bertanya:”apakah Baginda mengurus kepentingan keluarga sendiri seperti mengerus kepentingan kami?”Kholifah Umar tidak menjawabnya secara langsung, tetapi beliau mengucapkan kata-kata yang penuh hikmah:”barangsiapa yang dipercayakan memegang urusan-urusan kaum muslimin, maka seharusnya dia memperhatikan kepentingan-kepentingan orang banyak, baik orang-orang yang lemah maupun orang-orang yang kuat. Dia bertanggung jawab terhadapnya. Apabila dilupakannya, maka hal itu adalah kerugian besar baginya di dunia dan akhirat kelah”.

Terhadap yang dilakukan dan dikatakan Kholifah Umar di atas, Dr. athiyah Al-Abrasy mengatakan sebagaimana yang terdapat dalam “Ruhul Islam” berikut ini : Adakah satu sifat kepemimpinan dan kerendahan hati yang melebihi dari apa yang dilakukan Kholifah Umar itu?. Seorang kepala Negara yang mempunyai kedudukan tertinggi yang seharusnya kemana-mana selalu dikawal dan dilayani kebutuhannya, telah bersama-sama dengan istrinya menolong dan melayani kebutuhan orang lain yang sedang kesusahan pada saat manusia yang lain sedang enak-enaknya tidur”.

2. Suami bertanggung jawab terhadap keluarganya.
DI dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 34 Allah berfirman, yang artinya :
“Laki-laki (suami) adalah pemimpin atas kaum perempuan (istrinya) karena Allah telah melebihkan dari mereka atas sebagian yang lain, dan dengan sebab apa yang mereka bafkahkan dari harta benda mereka”.
Yang dimaksud dari ayat adalah, tanggung jawab suami itu tidak hanya terbatas pada soal-soal lahir saja seperti makan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya, akan tetapi juga bertanggung jawab terhadap soal-soal batin, seperti memberikan ketenangan, mengajarinya dalam memahami hokum-hukum agama, membimbingnya dalam melakukan kewajiban-kewajibannya dan sebagainya.
 Selain itu seorang suami juga bertanggung jawab terhadap anak-anaknya, bukan saja terhadap kebutuhan jasmaninya tetapi terutama sekali terhadap kebutuhan rohaninya, seperti kasih saying, pendidikan yang baik, petunjuk-petunjuk kea rah kebaikan, dan sebagainya.
Firman Allah dalam Al-qur’an Surat At-Tahrim ayat 6, yang artinya :
“Peliharalah diri dan keluarganya dari api neraka”.

3. Istri bertanggung jawab terhadap rumah tangga suaminya.
Sudah menjadi kodratnya, bahwa kaum wanita mempunyai watak yang lebih sabar, lebih tenang, lebih perasa dan lebih berhati-hati dalam menghadapi setiap permasalahan.
Karena itu tak salah, apabila agama islam membebankan tugas mengasuh dan mendidik anak kepada seorang wanita (ibu) sebab kaum wanita lebih dapat mencu rahkan kasih sayang dan perhatiannya, serta lebih bisa mengarahkan perkembangan kewajiban seorang anak.
Sehubungan dengan hal ini, Imam Ghozali mengemukakan dalam (hya’Ulumuddin, bahwa tugas dan tanggung jawab seorang istri itu diantaranya yang terpenting itu adalah :
-          Berlaku sederhana dan tidak berlebih-lebihan.
-          Tidak boros.
-          Memelihara hubungan baik dengan keluarga kedua pihak (keluarga suami dan keluarga sendiri).
-          Mengasuh dan mendidik anaknya dengan sebaik-baiknya.
-          Menyimpan rahasi-rahasi suami dan rahasia kelaurganya dengan serapat-rapatnya.
-          Selain itu juga tidak boleh menerima tamu laki-laki tanpa disertai suami atau muhrimnya.
Adapun sudah menjadi tabiat manusia, dia mudah terpengaruh, tergoda dan akhirnya terpedaya oleh tiga hal, yaitu harta, tahta dan wanita.
Pada umumnya, manusia menyukai dan berharap akan mendapatkan ketiga hal di atas untuk memuaskan dan menyenangkan hidupnya, padahal semuanya itu hanyalah tipu daya yang menyesatkan.
Syeikh Ibnu atho’ pernah mengatakan :
“Apabila menggembirakan pada permulaannya kepadamu, maka (hal itu) akan menjemukan kesudahannya kepadamu. Dan apabila menarik keadaan lahirnya kepadamu, maka pada keadaan batinnya akan mencegahmu”.

Seringkali orang merasa bangga dan senang dengan jabatan, bahkan saking senangnya hingga lupa bahwa semuanya itu pada akhirnya akan dihisab (diperhitungkan) oleh Allah.
Pada lahirnya, kekuasaan atau jabatan itu memang manarik. Karena itu banyak sekali orang yang mencari dan memburunya walaupun untuk itu ia terpaksa harus mengorbankan agama atau akidahnya.
Tetapi lain halnya dengan orang ma’rifat. Ia sama sekali tidak tertarik dengan segala macam pangkat, jabatan atau kekuasaan. Maka ia akan berusaha untuk melepaskan diri dari jabatan-jabatan yang disandangnya sebab hal itu merupakan amanat yang sangat berat, yang jarang sekali orang bisa selamat dari bahaya fitnah, kecurigaan, kezaliman dan semacamnya.
Karena itu bagi para pemegang jabatan atau kekuasaan hendaknya bisa menjalankan tugasnya dengan baik, berlaku adil dan tidak menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi, serta mendasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaannya menurut hukum agama.
Secara umum, adil itu diartikan sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya, tidak berat sebelah dan tanpa pandang bulu.
Sedangkan menurut Syayyid Quthub, adil itu adalah suatu sikap yang tidak menunjukkan kecondongan cinta atau marah, tidak merobah ketentuan-ketentuan karena kasih sayang atau benci. Adil itu tidak mempengaruhi pandangan karena pertimbangan-pertimbangan kekeluargaan, tidak menaruh kebencian antara kaum-kaum. Tidak membedakan manusia karena bangsanya, keturunannya, hartanya, pangkatnya, dan sebagainya. Antara yang satu dengan yang lain doperlakukan sama.
Telah sering diucapakan dan didengungkan keadilan. Baik adil dalam pembagian (pemberian) maupun dalam menjatuhkan hukuman. Siapapun yang berhak diberi sesuai dengan haknya dan siapapun yang bersalah dijatuhi hukuman yang setimpal dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Jangan sampai ada penguasa yang berlaku sebagaimana yang pernah dikatakan oleh pujangga terkenal yang bernama Umar Khayyam :
“pencuri-pencuri kembang di taman bunga dijatuhi hukuman, sedang pencoleng-pencoleng berlian di istana Raja-raja di biarkan berkeliaran”.
Tindakan-tindakan seperti di atas itu jika dibiarkan berlarut-larut dan berkelanjutan, maka akan dapat menjadi sebab dari kehancuran suatu bangsa atau suatu kaum. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah dalam sebuah Hadits, yang artinya :
“Bahwasanya kehancuran, umat yang terdahulu ialah karena menghukum pencuri-pencuri yang lemah (kecil), sedang pencuri-pencuri cabang atas (besar), mereka biarkan saja”.

Perhatikan firman Allah dalam Al-Qur’an surat an-Nisaa’ ayat 135, yang artinya :
“Hai orang-orang beriman, hendaklah kalian menjadi orang-orang yang teguh menegakkan keadilan, menjadi saksi kebenaran karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau Ibu Bapakmu atau kerabatmu, ataupun pada orang kaya orang miskin, karena Allah lebih dekat kepadanya. Sebab itu janganlah kamu turutkan hawa nafsu untuk tidak berlaku adil”.

Demikianlah, Allah telah memerintahkan hamba-Nya untuk selalu menegakkan kebenaran. Dan perintah ini telah dilaksanakan Rasulullah dengan sebaik-baiknya agar ditiru oleh umatnya, hingga beliau pernah mengatakan:”Seandainya putrid saya Fatimah mencuri, maka terhadap dia pun saya jalankan hukuman potong tangan”.

Jika seorang penguasaha mau meniru atau mencontoh kepemimpinan Rasulullah dalam menegakkan keadilan tersebut, maka percayalah, ketenangan dan ketenraman hidup akan anda rasakan. Sebab apalah artinya harta yang bertumpuk dan jabatan yang tinggi kalau hanya memusingkan kepala dan meresahkan hati?
Jabatan atau kekuasaan itu merupakan amanat. Dan amanat itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya.
Berikut ini adalah beberapa contoh kejujuran seseorang penguasa seorang rakyat bisa dan seorang sudagar (pedagang) dalam memegang amanat yang patut kita teladani bersama. Di antaranya :
1.Kejujuran seorang penguasa.
Pada zaman pemerintahan Bani Umayyah ada seorang Kholifah bernama Umar bin Abdul Aziz yang sangat jujur, adil, dan bijaksana. Beliau selalu memusatkan pikiran dan perhatiannya untuk kepentingan rakyatnya, hidupnya sangat sederhana dan tidak segan-segan melaksanakan tugas-tugasnya seorang diri sampai jauh malam.
Pada suatu malam, ketika baliau sedang berda dikantornya menyelesaikan tugas-tugas kenegaraan, tiba-tiba masuklah salah seorang putranya yang bermaksud hendak membicarakan urusan keluarganya.
Tetapi sebelum pembicaraan itu dimulai, Kholifah Umar bin Abdul Aziz terlebih dulu memadamkan lampu yang ada diruangan itu sehingga gelap gulita. Melihat hal ini, dengan terheran-heran putranya berkata : “Mengapa Ayah memadamkan lampu ini?. Bukankah lebih nyaman kita bicara dirungan yang terang?”. Memang lebih nyaman diruangan yang terang”. Saut Kholifah,” akan tetapi taukah kamu lampu siapa yang menyala diruangan ini?. Lampu milik Negara, minyak yang dipakai juga dibeli dari uang Negara. Sedangkan yang hendak engkau bicarakan itu adalah urusan keluarga. Maka tidak boleh kita menggunakannya.
Tidak lama kemudian, Kholifah Umar memanggil pelayannya dan menyruhnya mengambilkan lampu dari ruangan dalam. Setelah lampu itu dinyalakan, kholifah lalu berkata :”Lampu ini adalah milik kita pribadi dan minyaknya juga dibeli dengan uang pribadi. Karena itu kita pun bebas memakainya”.
Demikianlah kehati-hatian Kholifah Umar bin Abdul Aziz dalam mengemban suatu amanat. Beliau sama sekali tidak mau mencampurkan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan Negara.

1. Kejujuran seorang pengembala kambing.
Suatu ketika, Kholifah Umar bin Khothob berjalan keluar masuk kampong untuk melihat-lihat keadaan rakyatnya.
Dalam perjalanannya itu beliau tiba disuatu padang rumput dan disana dilihatnya seorang anak yang sedang mengembala kambing demikian bangaknya hingga sulit untuk menghitungnya.
Oleh Kholifah Umar didekatinya pengembala itu dan dikatakan kepadanya:”Juallah kepadaku kambingmu itu seekor saja”. Tidak”, jawab pengembala itu.”kambing-kambing itu bukan milik saya, tapi milik majikan saya”.Hanya seekor saja, desak Kholifah Umar,”Toh majikanmu tidak akan mengetahuinya. Dan kalau ditanyakan, katakana saja bahwa kambingnya itu diterkan oleh serigala, dengan begitu engkau akan terlepas dari hukuman serta mendapatkan uang untuk bersenang-senang”.
Akan tetapi secara mengejutkan pengembala kecil itu menjawab.”Memang majikanku tidak akan mengetahuinya, tapi dimanakah Allah?”.
Kholifah Umar benar-benar tersentak mendengar jawaban itu. Seketika itu juga beliau minta agar diantarkan kepada majikannya. Dan sesampainya di sana ditebusnya budak pengembala itu dan dimerdekakannya. Setelah itu barulah pengembala kambing tadi mengetahui, bahwa orang yang membujuknya dan yang kemudian memerdekakannya. Adlah Kholifah Umar bin Khothob sendiri, orang yang selama ini ia kagumi dan ia hormati.
Demikianlah pahala dari (kejujuran). Di dunia saja telah dapat membebaskan seseorang dari perbudakan. Dan tentunya di akhirat nanti akan dapat membebaskannya dari siksa apai Neraka.
2. Kejujuran seorang pedagang (saudagar).
Pada zaman tabi’in dulu ada seorang saudagar perhiasan bernama Yusup bin Ubaid. Ketika akan melaksanakan shalat, dia menyeruh salah seorang saudagarnya untuk menunggu tokonya barang sebentar.
Ketika ditunggu oleh saudaranya itulah ada seorang dari suku Baduwi yang membeli sebuah perhiasan seharga (400) dirham, padahal harga yang sebenarnya Cuma (200) dirham.
Dalam perjalanan pulang, si baduwi itu bertemu dengan Yunus bin Ubaid yang segera mengenalinya, bahwa perhiasan yang dibawanya itu dibeli dari tokonya. Melihat perhiasan itu, Yunus berkata:”jawab si Baduwi itu membeli perhiasan itu?!”empat ratus dirham”, jawab si baduwi itu dengan bangga yunus kaget, “Perhiasan itu harganya Cuma (200) dirham. Dan saya tahu, engkau membelinya di took saya. Karena itu mari kita kembali ke sana untuk mengambil kelebihan uang yang kau bayarkan itu”.
Akan tetapi di Baduwi itu menolak sambil berkata : Biarlah, aku merelakan kelebihan uang itu. Sebab dikampung saya perhiasan seperti ini paling murah harganya (500) dirham. Namun Yunus bin Ubaid tidak mau melepaskan Baduwi itu dan terus mendesaknya agar mau mengambil kembali sisa uangnya. Karena mendesak terus, akhirnya si Baduwi itu pun mau mengambilnya.
Begitu si Baduwi itu pulang, yunus bin Ubaid langsung memarahi saudaranya itu :”Apakah engkau tidak malu dan takut kepada Allah dengan menjual barang seharga dua kali lipat dari harga sebenarnya?”.”dia sendiri yang mau membayarnya dengan harga sekian itu” bela saudaranya.”yaa…”sahut Yunus,”tetapi di atas pundak kita terpikul satu manat dari Allah untuk memperlakukan orang lain seperti memperlakukan saudaranya sendiri”.
Demikianlah keteladanan seorang saudagar yang seharusnya menjadi cintoh atau teladan bagi saudagar-saudagar lain.

A.     AKIBAT MENYIA-NYIAKAN ATAU MENYELEWENGKAN AMANAH
Akibat yang ditimbulkan dari penyelewengan sesuatu amanah itu tergantung kepada amanah yang dibebankannya. Jika menyangkut hubungan antar seseorang, maka kerusakannya paling tinggi dirasakan oleh dua orang yang bersangkutan beserta keluarganya. Tetapi bila amanah itu menyangkut orang banyak, seperti pemimpin Negara atau pemimpin umat, maka akibatnya pun akan dirasakan oleh orang banyak.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, yang artinya :
“Apabila amanah itu disia-siakan, maka akan timbullah kehancuran”.

Selanjutnya dalam Hadits tersebut dinyatakan :
“Dinyatakan orang : Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan menyia-nyiakan pada orang yang bukan ahlinya”.
Sehubungan dengan hal ini, Sayid Jamaluddin Al-Afghoni dalam bukunya yang bejudul “Araddu’Alad-Dahrin” mengatakan:
“pembinaan masyarakat insani yang kuat dan abadi hanyalah dapat ditegakkan di atas dasar hubungan dan tujuan yang paling mendatangkan manfaat. Adapun jiwa dan (roh) hubungan yang demikian itu ialah amanah. Apabila amanah itu rusak, maka batallah segala ikatan hubungan, dan putuslah tali temali tujuan yang baik. Tatasusunan kehidupan akan berantakan, dan pembinaan masyarakat insani pun akan segera mengalami kehancuran”.
Karena itu seseorang yang dipundaknya telah terbebani suatu amanah, maka hendaklah ia pikul amanat itu dengan sebaik-baiknya dan tidak menyalahgunakan atau menyelewengkannya, agar tatanan kehidupan pribadi dan masyarakat tetap terpelihara dengan rapi, dan teruama lagi di akhirat nanti bisa terbekas dari tuntunan illahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar