Rahmat Mulyadi

Rahmat Mulyadi

Sabtu, 20 April 2013

190. BERMACAM-MACAM JALAN ALLAH UNTUK MENYADARKAN HAMBANYA



‘alima annaka laa taqbalun-nushhal mujarrada fadzawwaqaka min dawaaqihaa maa yusahhlu ‘alaika wujuuda firaaqihaa.

Artinya : Allah mengetahui bahwa kamu tidak mau menerima nasehat belaka maka dia mencobakan rasa kepadamu dari rasa dunia apa yang bisa kamu mudah meninggalkannya.

Kebanyakan manusia itu sulit menjadi sadar kalau hanya diberi nasehat-nasehat saja. Seperti yang berupa firman-firman Allah, berupa Hadits0hadits nabi dan sebagainya. Karena itu salah satu  jalan bagi Allah untuk menyadarkan manusia adalah dengan memberi peringatan-peringatan seperti terjadi bencana alam, terjangkitnya wabah penyakit, banjir, kekeringan, kesulitan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup, dan sebagainya.
Dengan peringatan-peringatan seperti itu manusia lebih mudah menjadi sadar, ingat kepada (mati) dan hidup sesudahnya. Dan apabila sedah ingat kepada hal yang demikian ini biasanya manusia lalu bertaubat dan mendekatkan dirinya kepada Allah.
Setiap orang-orang pasti mengalami (mati). Siapapun adanya dia tidak akan dapat mengundurkan atau memajukan barang sedikitpun.
Firman allah dalam Al-qur’an surat Yunus ayat 49, yang artinya :
“Katakanlah :Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah bagi Allah. Tuhan semesta alam”.

Seorang filosof dan pujangga islam yang terkenal pada abad 20 bernama  Dr. Muhammad Iqbal pernah mengatakan “
“Manusia tidak tahu kapan dia datang ke dunia yang penuh kesulitan ayau kapan dia akan berangkat. Hidupini adalah bara api yang tak pernah tersenyum yang akan membuat manusia menjadi kayu bakarnya. Manusia menjadi tawanan penuh heran antara rahasia hari kematian dan teka teki esok”.
Baik lahir maupun batin, keduanya itu terjadi menurut (Kodrat) dan (Irodat Allah). Walaupun seandainya seluruh manusia berkumpul untuk menyelamatkan kamu dari (kematian), tetapi kalau memang (kematian) sudah waktunya datang maka kamu akan tetap (mati) juga. Demikian juga seandainya seluruh manusia berkumpul untuk (membinasakanmu), tetapi kalau ajal belum waktunya datang, maka engkau akan (selamat) dari usaha mereka.
Sebenarnya yang penting dari semuanya ini bukanlah soal (hidup) sesudah (mati) itulah yang lebih penting. Karena pada dasarnya kehidupan sesudah (kematian) atau yang biasa disebut dengan (kehidupan) di (Akhirat) itulah yang sebenar-benarnya dan sesempurna-sempurnanya (hidup).
Dalam hal ini Syeikh Muhammad Abduh dalam “Al-Mannar”, mengatakan, bahwa benar-benar kesempurnaan hidup manusia itu berada di akhirat., sedang dunia ini merupakan persiapan semata-mata dengan membersihkan jiwa dan amal (perjuangan).
Karena setiap manusia harus banyak-banyak mengingat mati. Sebab dengan mengingat mati, seseorang bisa menyiapkan bekal yang sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya untuk kehidupannya di akhirat nanti.
Allah berfirman dalam Al-qur’an Surat An-Nisa’ ayat 78, yang artinya :
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada didalam benteng yang tinggi lago kokoh”.

Juga dalam hal ini, Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah mengatakan :
“Mati itu adalah pintu (untuk menuju akhirat) dan semua manusia pasti memasukinya”.

Sebagai orang yang beriman, kita hendaknya berusaha untuk selalu berbuat baik agar nantinya dapat mencapai akhirat kehidupan yang Khusnul Khotimah serta tidak mengalami kesukaran atau penderitaan menjalani sakaratul maut.
Adapun kematian yang khusnul khotimah itu tidak dapat ditandai dari banyaknya orang yang melayat, menyalati atau yang mengantakkannya kekuburan. Tetapi ditandai dengan penyebutan dengan kalimat (“Laa Ilaaha Illallah”) atau asma-asama Allah yang lain. Hal ini sebagaimana yang dialami oleh sahabat Abu Dzar Al-Ghifari yang menghembuskan nafas terakhirnya di tempat yang sunyi, kemudian di sholati dan di antarkan kekuburan oleh beberapa orang saja.
Sedangkan kematian yang su’ul khotimah biasanya di tandai dengan penderitaan-penderitaan yang hebat, baik pada sakaratul maut maupun sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang dialami oleh Hajaj Yusuf Atsaqafi yang sebelum matinya meraung raung seperti singa kelaparan sebagai akibat dari kezalimannya selama berkuasa di Kufah dan Madinah. Demikian juga yang dialami oleh Umar bin Saad, si algojo Muawiyyah yang telah dengan  kejam membantai (Husen bin Ali) beserta pengikut-pengikutnya dalam tragedi di Karbala. Sebelum matinya ia mengalami penderitaan dan kesengsaraan yang tiada taranya. Atau juga yang dialami oleh Kepala pengadilan Tinggi Turki pada para pemerintahan Musthofa Kemal Attaturk. Sebelum matinya ia menderita penyakit yang sangat berat yang keluar dari padanya bau busuk yang sangat menyengat sehingga tidak mau mendekatinya sebagai akibat dari perbuatannya yang secara zalim dan kejam telah menyentuh hukuman terhadap ulama pejuang yang bernama Syeikh Ali afandi yang sama sekali tidak bersalah.
Akhirnya sebagai bahan renungan : barangsiapa yang lupa kepada akhirat padahal sudah ditimpakan kepadanya suatu peringatan, maka celakalah baginya, baik ketika di dunia dan terlebih lagi di akhirat nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar