‘alima
annaka laa taqbalun-nushhal mujarrada fadzawwaqaka min dawaaqihaa maa yusahhlu
‘alaika wujuuda firaaqihaa.
Artinya : Allah mengetahui
bahwa kamu tidak mau menerima nasehat belaka maka dia mencobakan rasa kepadamu
dari rasa dunia apa yang bisa kamu mudah meninggalkannya.
Kebanyakan manusia
itu sulit menjadi sadar kalau hanya diberi nasehat-nasehat saja. Seperti yang
berupa firman-firman Allah, berupa Hadits0hadits nabi dan sebagainya. Karena
itu salah satu jalan bagi Allah untuk
menyadarkan manusia adalah dengan memberi peringatan-peringatan seperti terjadi
bencana alam, terjangkitnya wabah penyakit, banjir, kekeringan, kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup, dan sebagainya.
Dengan
peringatan-peringatan seperti itu manusia lebih mudah menjadi sadar, ingat
kepada (mati) dan hidup sesudahnya.
Dan apabila sedah ingat kepada hal yang demikian ini biasanya manusia lalu
bertaubat dan mendekatkan dirinya kepada Allah.
Setiap orang-orang
pasti mengalami (mati). Siapapun
adanya dia tidak akan dapat mengundurkan atau memajukan barang sedikitpun.
Firman allah dalam Al-qur’an surat Yunus ayat 49, yang artinya :
“Katakanlah
:Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah bagi Allah.
Tuhan semesta alam”.
Seorang filosof dan
pujangga islam yang terkenal pada abad 20 bernama Dr. Muhammad Iqbal pernah mengatakan “
“Manusia tidak tahu
kapan dia datang ke dunia yang penuh kesulitan ayau kapan dia akan berangkat.
Hidupini adalah bara api yang tak pernah tersenyum yang akan membuat manusia
menjadi kayu bakarnya. Manusia menjadi tawanan penuh heran antara rahasia hari
kematian dan teka teki esok”.
Baik lahir maupun
batin, keduanya itu terjadi menurut (Kodrat)
dan (Irodat Allah). Walaupun seandainya
seluruh manusia berkumpul untuk menyelamatkan kamu dari (kematian), tetapi kalau memang (kematian) sudah waktunya datang maka kamu akan tetap (mati) juga. Demikian juga seandainya
seluruh manusia berkumpul untuk (membinasakanmu),
tetapi kalau ajal belum waktunya datang, maka engkau akan (selamat) dari usaha mereka.
Sebenarnya yang
penting dari semuanya ini bukanlah soal (hidup)
sesudah (mati) itulah yang lebih
penting. Karena pada dasarnya kehidupan sesudah (kematian) atau yang biasa disebut dengan (kehidupan) di (Akhirat)
itulah yang sebenar-benarnya dan sesempurna-sempurnanya (hidup).
Dalam hal ini
Syeikh Muhammad Abduh dalam “Al-Mannar”, mengatakan, bahwa benar-benar
kesempurnaan hidup manusia itu berada di akhirat., sedang dunia ini merupakan
persiapan semata-mata dengan membersihkan jiwa dan amal (perjuangan).
Karena setiap
manusia harus banyak-banyak mengingat mati. Sebab dengan mengingat mati,
seseorang bisa menyiapkan bekal yang sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya
untuk kehidupannya di akhirat nanti.
Allah berfirman
dalam Al-qur’an Surat An-Nisa’ ayat 78, yang artinya :
“Di mana saja kamu
berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada didalam benteng
yang tinggi lago kokoh”.
Juga dalam hal ini, Abu Bakar
Ash-Shiddiq pernah mengatakan :
“Mati itu adalah pintu (untuk menuju akhirat) dan semua
manusia pasti memasukinya”.
Sebagai orang yang beriman,
kita hendaknya berusaha untuk selalu berbuat baik agar nantinya dapat mencapai
akhirat kehidupan yang Khusnul Khotimah serta tidak mengalami kesukaran atau
penderitaan menjalani sakaratul maut.
Adapun kematian yang khusnul
khotimah itu tidak dapat ditandai dari banyaknya orang yang melayat, menyalati
atau yang mengantakkannya kekuburan. Tetapi ditandai dengan penyebutan dengan
kalimat (“Laa
Ilaaha Illallah”) atau asma-asama Allah yang lain. Hal ini
sebagaimana yang dialami oleh sahabat Abu Dzar Al-Ghifari yang menghembuskan
nafas terakhirnya di tempat yang sunyi, kemudian di sholati dan di antarkan
kekuburan oleh beberapa orang saja.
Sedangkan kematian yang su’ul
khotimah biasanya di tandai dengan penderitaan-penderitaan yang hebat, baik
pada sakaratul maut maupun sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang dialami oleh
Hajaj Yusuf Atsaqafi yang sebelum matinya meraung raung seperti singa kelaparan
sebagai akibat dari kezalimannya selama berkuasa di Kufah dan Madinah. Demikian
juga yang dialami oleh Umar bin Saad, si algojo Muawiyyah yang telah
dengan kejam membantai (Husen bin Ali) beserta
pengikut-pengikutnya dalam tragedi di Karbala.
Sebelum matinya ia mengalami penderitaan dan kesengsaraan yang tiada taranya.
Atau juga yang dialami oleh Kepala pengadilan Tinggi Turki pada para
pemerintahan Musthofa Kemal Attaturk. Sebelum matinya ia menderita penyakit
yang sangat berat yang keluar dari padanya bau busuk yang sangat menyengat
sehingga tidak mau mendekatinya sebagai akibat dari perbuatannya yang secara
zalim dan kejam telah menyentuh hukuman terhadap ulama pejuang yang bernama
Syeikh Ali afandi yang sama sekali tidak bersalah.
Akhirnya sebagai bahan renungan
: barangsiapa yang lupa kepada akhirat padahal sudah ditimpakan kepadanya suatu
peringatan, maka celakalah baginya, baik ketika di dunia dan terlebih lagi di
akhirat nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar