Rahmat Mulyadi

Rahmat Mulyadi

Jumat, 19 April 2013

199. MANUSIA HIDUP DI DUNIA ADALAH UNTUK BERIBADAH KEPADANYA


Ja’alaka fiil’ilmil mutawassithi baina mulkihi wamalakuutihi liyu’allimuka jalaalata qadrika baina makhluqatihi wa-annaka jauharatun tanthawii ‘alaika ashdafu mukawwinaatihi.

Artinya : Allah menjadikan kamu di dalam pertengahan ini, yaitu antara alam dunianya dan alam malaikat-Nya untuk memberi pengertian kepadamu akan kebesaran kedudukanmu antara makhluq-Nya dan bahwasanya kamu itu sebagai permata yang terlipat oleh wadahnya (tempatnya) yang berupa alam ini”.

Sedah menjadi sunatullah bahwa manusia di tempatkan oleh Allah di antara langit dan bumi bersama-sama dengan makhluq lain, seperti tumbuhan, hewan dan benda-benda mati lainnya.
Hal ini dimaksudkan agar manusia mengetahui bahwa dirinya di ciptakan oleh Allah melebihi dari makhluq lainnya.
Perhatikan firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Isroo ayat 70, yang artinya :
“dan sesungguhnya kami telah memuliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri (rizqi) dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluq yang telah kami ciptakan”.

Juga dalam Surat At-Tin ayat 4, yang artinya :
“Sesungguhnya kami telah ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.

Akan tetapi patut disayangkan, meskipun sudah di beri kelebihan dan keistimewaan yang begitu besar, namun kebanyakan di antara manusia tidak mau (bersyukur) dan (mengabdikan diri) kepada-Nya. Padahal tujuan sebenarnya dari diciptakannya manusia adalah untuk mengabdi beribadah kepada-Nya.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an Surat Adz-Dzaariyat ayat 56-57, yang artinya :
“Dan Aku (Allah) tidak menciptakan (jin) dan (manusia),melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki (rizqi) sedikitpun dari mereka dan Aku menghendaki supaya memberi Aku makan”.

Berdasarkan ayat di atas dapat kita simpulkan, bahwa manusia diciptakan oleh Allah di dunia ini adalah untuk (mengabdi) atau (beribadah) kepada-Nya. Selain itu juga (pengabdian) atau (ibadah) yang dilakukan oleh manusia itu bukanlah kepentingan Allah, tetapi justru untuk kepentingan dirinya sendiri.
Karena sebagaimana tubuh (jasmani) yang minta dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya, seperti makan, pakaian dan sebagainya, maka begitu juga dengan jiwa (rohani) manusia. Ia juga minta dipenuhi kebutuhannya, yakni yang berupa (ibadah) kepada-Nya. Dengan (ibadah) itu, jiwa manusia menjadi tenang, tentram dan bahagia.

1.       Ibadah sebagai santapan Rokhani.

Di atas tadi telah diterangkan, bahwa ibadah merupakan kebutuhan bagi manusia. Karena itu seseorang yang tidak mau atau jarang sekali beribadah, maka dapat dipastikan jiwanya akan kering-kerontang, jauh dari rasa aman, jauh dari ketenangan dan jauh dari kebahagiaan hidup yang (hakiki)
Dalam hal ini Ibnu Taimiyah pernah mengatakan :
“Hati itu sendirisebenarnya butuh kepada Allah dilihat dari dua jurusan : dari segi ibadah dan dari segi permintaan tolong dan tawakal. Maka hati tidak akan menjadi beres, merasa senang, gembira, enak, baik dan tentram, melainkan dengan beribadah kepada Tuhannya Yang Esa dan mencintai-Nya serta bertaubat kepada-Nya. Kalaupun seandainya kesenangan itu bisa dicapai dari makhluq, namun tidak akan bisa merasa tenang dan tentram sebab di dalam hatinya itu ada perasaan mendasar, yaitu perlu kepada Tuhannya……….

2.       Jalan menuju kebenaran adalah yang mengabdi kepada Allah.
Tidak ada sikap yang lebih mulia bagi seseorang, melainkan dengan membebaskan dirinya dari segala macam belenggu perbudakan, seperti perbudakan oleh harta, kedudukan, kekuasaan, wanita dan sebagainya.
Adapun satu-satunya jalan untuk membebaskan diri itu tidak lain adalah dengan semata-mata hanya mengabdi kepada Allah. Dengan pengabdian ini maka ketundukan, ketaatan dan kepatuhan hati hanya akan tertuju kepada-Nya. Dan dengan demikian seseorang akan merasa dengan senang hati tanpa beban dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangannya.

3.       Ibadah merupakan salah satu bentuk bagi manusia.
Kehidupan yang dialami oleh setiap manusia di dunia ini bukanlah merupakan tujuan akhir dari sebuah perjalanan tetapi hanya merupakan terminal atau tempat persiinggahan sementara guna melanjutkan perjalanan lagi lebih panjang dan jauh, yakni menuju perkampungan akhirat di mana seseorang akan tinggal di sana buat selama-lamanya.
Hal inio sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair arab, bahwa kematian itu hanyalah suatu perjalanan dari rumah yang (fana) menuju kampong yang (abadi).
Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Ankabut ayat 64, yang artinya :
“Sesungguhnya hidup di akhirat sebenarnya hidup kalau mereka mengerti”
.
Karena itu manusia hendaknya mempersiapkan diri sebaik-baiknya dan mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk dibawa keperkampungan (akhirat) kelak. Dan dalam hal ini tidak ada berupa amal ibadah.
Akan tetapi untuk melaksanakan amal ibadah itu tidak jarang harus mengatasi uijian-ujian atau rintangan-rintangan terlebih dahulu. Dan dari ujian-ujian atau rintangan-rintangan  ini Allah dapat mengetahui siapa-siapa di antara manusia yang benar-benar mau tunduk dan taat kepada-Nya dan siapa-siapa pula yang malas dan enggan melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Allah berfirman dalam Al-qur’an Surat Al-Kahfu ayat 7, yang artinya :
“ Sesungguhnya Kami (Allah) menjadikan apa yang ada dibumi sebagai perhiasan baginya, supaya Kami menguji mereka (manusia) siapa di antara mereka-mereka itu yang lebih baik amalnya”. 

Sesuatu yang baik tentu mahal harganya dan susah pula dalam mendapatkannya. Demikian pula syurga yang tentu saja jauh lebih baik dari dunia dengan segala macam isinya ini. Ia (syurga itu) harus dicapai dengan pengorbanan yang tidak sedikit dan perjuangan yang tidak ringan. Hal ini sebagaimana yang telah di firmankan Allah dalam Al-Qur’an  Surat  Ali-Imran ayat 142, yang artinya :
“ Apakah kamu mengira, bahwa kamu akam masuk syurga, padahal Allah belum tahu orang-orang yang berjuang di antara kamu dan (Allah) belum tahu orang-orang yang sabar”.

4.       Ibadah adalah merupakan hak Allah yang harus dipenuhi oleh hambanya.
Ibadah sudah semestinya dan sudah sewajarnya, apabila “Yang memiliki”. Itu menuntut hak kepda “Yang dimiliki”. Dengan demikian juga dengan Allah Maka sudah semestinya pula apabila Dia menuntut hak-Nya kepada manusia, yakni yang berupa (ibadah).

Hal ini sebagaimana yang tersebut dalam sebuah Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim berikut ini, yang artinya :
“ Dai Muadz bin Jabar r.a. ia berkata : Aku pernah membonceng himar Rasulullah S.A.W. lalu beliau bertanya kepadaku :”Hai Muadz, taukah engkau apakah hak Allah atas hambanya?”Aku menjawab Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Maka sabda Rasulullah S.A.W.:”Hak Allah atas hamba-Nya yaitu : hendaknya mereka menyembah Allah dan janganlah menyekutukan Dia dengan sesuatu”.

Maha Besar Allah Yang telah menciptakan manusia dari (setetes air mani), kemudian dilahirkannya ke dunia dalam keadaan telanjang bulat dan tidak punya apa-apa, kemudian diberinya kekuatan, (dicukupinya) kebutuhan-kebutuhan, dan disempurnakan pula kenikmatan-kenikmatan baginya.
Oleh karena itu tidaklah aneh dan tidak pula berlebih-lebihan apabila Allah Yang telah menciptakan dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan manusia itu berhak untuk disembah, diibadahi, dimintai pertolongan, dan dijadikan tempat bergantung.
Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 21-22, yang artinya :’
“ Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menjadikan kamu dan orang-orang sebelum kamu, supaya kamu terpelihara. Dzat Yang telah menjadikan bumi ini buat kamu sebagai hamparan dan langit sebagai atap, dan ia turunkan air hujan dari langit, lalu dengan (perantaraan) air itu ia keluarkan buah-buahan sebagai (rizqi) buat kamu. Oleh karena itu janganlah kamu menjadikan sekutu bagi Allah, padahal kamu tahu”.
Akan tetapi yang lebih aneh dari yang paling aneh dan yang lebih mengherankan dari yang paling mengherankan dari manusia itu tidak mau (beribadah) kepada Dzat Yang telah menciptakannya, mencukupi kebutuhan-kebutuhannya, dan yang telah menyempurnakan kenikmatan-kenikmatan baginya.
Sehubungan dengan hal ini Allah berfirman dalam hadits Qudsi, yang artinya :
“Aku (Allah), jin dan manusia berada dalam berita yang besar, yaitu Aku yang menjadikan (manusia) tetapi dia menyembah selain Aku. Aku yang memberinya (rizqi) tetapi dia berterima kasih kepada selain Aku. Budi baik-Ku kepada manusia terus mengalir, tetapi kejahatan mereka itu kepada-Ku terus menjadi-jadi. Aku mencintai mereka dengan nikmat-Ku padahal Aku tidak butuh kepada mereka, tetapi mereka kemudian menentang Aku dengan berbagai kedurhakaan sedang mereka merupakan (makhluq) yang paling membutuhkan (Aku)”.
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa ibadah itu pada prinsipnya sudah merupakan tuntutan yang wajib dipenuhi manusia, dalam arti yang dituntut adalah tujuannya dan bukan cara atau sarananya, yakni dengan derajat yang pokok dalam ibadah, yaitu mengerjakan perintah-perintah-Nya dan memenuhi hak-hak-Nya.


5.       Ibadah itu merupakan usaha untuk mencari pahala dan menjauhkan diri dari azab.
Mengenai boleh dan tidaklah seseorang beribadah kepada Allah dengan tujuan agar dimasukkan ke dalam syurga dan dihindarkan dari neraka itu ada macam pendapat.
Pendapat pertama, yakni dari para ahli tasawuf. Mereka ini tidak setuju (tidak membiarkan) apabila ada seseorang yang beribadah kepada Allah dengan tujuan seperti yang telah tersebut tadi. Sebab menurut mereka , mahabbah (mencintai) Allah yang sebenar-benarnya adalah (beribadah) kepada-Nya tanpa mengharapkan apapun balasan dari-Nya alias tidak boleh ada (pamrih) sedikitpun. Sedangkan apabila dalam menjalankan ibadahnya itu seseorang bertujuan agar mendapatkan pahala dan dijauhkan dari azab (siksa), maka yang demikian ini bararti ada (pamrih) dalam ibadahnya. Padahal mengenai pahala itu sudah pasti diberikan oleh Allah, baik dimintanya ataupun tidak, karena hak ini sudah merupakan kepastian dari-Nya.
Selain itu para ahli tasawuf juga mengatakan :
“seorang hamba kepada Tuhannya itu tidaklah seperti seorang buruh yang jelek, yaitu yang akan bekerja kalau diberi upah. Sedangkan jika tidak diberi upah, maka buruh itu tidak mau bekerja”.

Terhadap penghambaan sebagaimana yang dilakukan oleh yang jelek itu mereka menyindirnya dalam sebuah syair berikut ini :
“Semua menyembah karena takut neraka, dan mereka memandang keselamatan itu sebagai bagian yang paling besar atau mereka ingin masuk syurga, lalu mendapat nikmat yang besar dan dapat minum salsabil syurga dan mereka itu bukanlah hakku, kecintaan-Ku tidak menuntut ganti”

Adapun pendapat yang kedua, yakni para ulama, mereka ini berpendapat, bahwa tidak berdosa seseorang yang beribadah kepada Allah karena ingin mendapatkan syurga dan untuk menghindarkan diri dari siksa neraka.
Pendapat ini didasarkan pada firman-firman Allah yang diantaranya terdapat pada :
- Surat Al-Furqan ayat 16, yang artinya :
“Dan orang-orang yang berkata :Yaa Tuhan Kami, hindarkanlah azab jahanam itu dari kami, karena azabnya itu amat jahat. Sesungguhnya jahanam itu tempat tinggal dan tempat berdiam yang jelek”.
- Surat Al-Imran ayat 16, yang artinya :
“Orang-orang yang berkata : Yaa Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman. Oleh karena itu ampunilah dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari (siksa) api neraka”.
- Surat Al-Imran ayat 194-195, yang artinya :
“Yaa Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan-perantaraan Rasul-Mu.dan janganlah engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji. Maka Tuham memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang hijrah, yang diusir dari kampong halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam syurga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”.
Selain ayat-ayat di atas, ada pula sebuah riwayat yang oleh para ulama juga dipakai sebagai dasar untuk menguatkan pendapatnya. Di antaranya adalah yang artinya sebagai berikut iani :
“Aesungguhnya Allah Ta’ala akan bertanya kepada mereka tentang hamba-Nya, (pahala ia lebih tahu tentang mereka itu), lalu malaikat berkata : Kami datang kepada-Mu (dengan membawa catatan yang kami ambil) dari hamba-hamba-Mu yang (bertahlil, bertakbir, bertahmid dan bertamjij (mengagungkan0 Engkau, lalu Allah Azza Wajalla bertanya lagi : Apakah mereka melihatnya. Tidak. Demi kegagahan-Mu mereka itu tidak melihatnya. Lalu Allah bertanya : Bagaimana seandainya mereka itu melihat Engkau, niscaya mereka bertambah sangat dalam mengagungkan Engkau. Malaikat kemudian berkata lagi : Ya Tuhan kami, mereka itu minta kepada-Mu akan syurga-Mu. Allah bertanya : Apakah mereka melihatnya?. Malaikat menjawab : Tidak. Demi kegagahan-Mu, mereka itu tidak melihatmu, niscaya mereka sangat dalam memintanya. Malaikat berkata lagi : Mereka juga meminta perlindungan-Mu dari neraka. Allah Azza wajalla bertanya lagi : Apakah mereka melihatnya?. Malaikat menjawab Tidak. Demi kegagahan-Mu mereka itu tidak melihatnya?. Malaikat menjawab : Jika mereka melihatnya, niscaya mereka akan lebih sangat takutnya dari neraka. Lalu Allah berkata : sunguhn Aku jadikan saksi kamu, bahwa telah mengagumi mereka, dan Aku memberi apa yang mereka minta, mereka itu minta perlindungan”.

Lalu bagaimana pendapt (pendirian) kita sendiri dalam mensikapi dua macam perbedaan di atas tadi?. Untuk itu ada baiknya kalau kita menengok pendirian dari Imam Ibnu Qoyyim berikut ini.
Pada dasarnya ibnu Qoyyim tidak memihak kepada pendapat para ahli tasawuf, akan tetapi ia juga tidak memihak kepada pendapat para ulama jadi ia berdiri ditengah-tengah (diantara) dua pedapat tadi.
Menurut kesimpulannya, bahwa syurga itu bukan sekedar nama dari pepohonan yang indah dan buah-buahan yang ranum, bukan sekedar makanan dan minuman yang lezat,bukan bidadari yang cantik jelita, bukan sungai-sungai yang airnya jernih mengalir, dan juga bukan istana yang megah. Akan tetapi sesungguhnya syurga itu adalah satu nama bagi tempat kenikmatan syurga yang paling besar adalah kegembiraan melihat Allah Yang Maha Mulia, mendengar firman-Nya, dan suasana yang nyaman dan menyejukkan berada di sampung-Nya. Tidak bisa dinisabkan kelezatan makanan, minuman, pakaian, dan pemandangan-pemandangan yang ada di dalamnya dengan kelezatan (dunia) ini sama sekali, jadi keluasan ridho-Nya jauh lebih besar dari syurga segala macam isinya. Hal ini sebagaiman firman Allah dalam Al-qur’an surat At-Taubah ayat 72, yang artinya :
“dari keridhoan Allah adalah lebih besar”.

Yang dimaksud “keridhoan Allah” pada ayat di atas adalah mencakup apa saja yang diridhoi-Nya. Termasuk ridho bahwa hambanya-Nya berada di dalam syurga.
Selain ayat di atas, ada pula beberapa Hadits yang menerangkan tentang kenikmatan melihat Allah. Di antaranya :
“Maka demi Allah, tidak ada sesuatu pun yang diberikan Allah kepada mereka yang lebih mereka cintai selain melihat kepada diri-Nya”.
“Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci, apabila menakpakkan diri-Nya mereka melupakan segala kenikmatan”.

Lebih lanjut Imam Ibnu Qoyyiim mengatakan :
“Tidak ragu lagi, bahwa persolalannya memang demikian, yaitu dia (Allah) semulia-mulia sesuatu terlintas dalm hati atau yang terbayang dalam hayalan, lebih-lebih pada saat keberhasilan oaring-orang yang mencintai di sana (disyurga) berdampingan dengan (kekasihnya), maka kenikmatan,  kelezatan,kesenagan dan keberhasilan yang manakah yang lebih besar dari kenikmatan, kelezatan dan kesenagan berdampingan dengan (kekasihnya)”.
Maka dengan dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Allah-lah yang menjadi (inti) dari keindahan dan kenikmatan syurga, dan lebih indah serta lebih nikmat dari segala papapun yang ada didalamnya.
Karena itu apabila para Rasul dan pengikut-pengikutnya berharap agar di jauhkan dari neraka, maka sebab yang utama adalah karena di dalam neraka itu jauh dari Allah, tidak dapat melihat kepada-Nya, mendapat kemurkaan-Nya dan di jauhkan dari rahmat-Nya, yang kesemuanya itu lebih berat dan lebih mengerikan dari pada jilatan api neraka.
Tepat sekali apa yang pernah dikatakan olrh Robi’ah Al-Adawiyah :
“Saya lebih senang masuk neraka dengan ridho-Nya dari pada masuk syurga dengan kemurkaan-Nya”.

6.   Apakah ibadah hanya sekedar jalan atau cara untuk mendidik jiwa?.
Ada semacam propaganda beracun yang disebarkan oleh kaum atheis (kaum yang tidak mengakui adanya Tuhan) dan sebagian besar kaum perusak. Mereka itu mengatakan, bahwa sesungguhnya tujuan-tujuan agama dengan segala macam ajarannya adalah untuk memperbaiki jiwa, mendidik hati dan memperluas budi. Karena itu jika seseorang sudah sampai pada tujuan yang dimaksud, maka ia sudah tidak perlu lagi mematuhi ajaran-ajaranya atau beribadah kepada-Nya. Karena tidak lain kesemuanya itu sekedar merupakan jalan atau cara, dan bukan merupakan tujuan.
Pendapat di atas itu sudah jelas salahnya. Karena pada hakekatnya yang dikehendaki oleh Allah dalam beribadah itu bukan hanya sekedar tujuannya saja, tetapi juga meliputi tuntunannya (maksudnya dalam mengerjakan ibadah itu harus sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang telah digariskan, tidak mengurangi dan tidak pula melebihkan).
Selain itu, ibadah yang dikerjakan oleh seseorang itu sebenarnya bukan untuk Allah, melainkan untuk dirinya sendiri. Karena sesungguhnya manusialah yang butuh kepada-Nya dan bukan sebaliknya.
Berikut ini adalah beberapa ayat bisa dijadikan sebagai dasar untuk menolak pendapat (atheis) dan kaum perusak tadi, ayat-ayat tersebut di antaranya terdapat pada :
-          Surat Adz-Dzaariyat yat 56, yang artinya :
“ Dan Aku (Allah) tidak menjadikan (Jin) dan (Manusia), melainkan agar mereka mengabdi kepada-Ku”.
-          Surat Al-Baqarah ayat 183, yang artinya :
“ Diwajibkan atas kamu sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu terpelihara”.
-                                  Surat Al-Fathir ayat 15-17, yang artinya :
“ Wahai sekalian manusia, kalianlah yang faqir (berkeperluan) kepada Allah. Sedangkan Allah Dia-Lah Yang Maha Kaya, Maha Terpuji. Jika ia menghendaki, kalian bisa dimusnahkan, dan ia datangkan generasi (baru) yang lain. Dan yang demikian itu bagi Allah bukan hal yang sukar”.

Dengan demikian terhadap pertanyaan di atas (dalam sub judul) kita dapat memberikan jawaban, bahwa ibadah itu bukan hanya sekedar jalan atau alat untuk mendidik jiwa saja. Tetapi lebih dari pada itu adalah untuk memenuhi hak-hak Allah.
Karena itu kalau ada seseorang yang beribadah dengan tujuan hanya untuk mendidik jiwanya tanpa memandang hak Allah atas dirinya, maka ibadahnya itu tidak lebih dari sekedar (tradisi) biasa yang tidak mempunyai (nilai) sedikitpun  untuk diterima sisisi-Nya.


7. Tujuan utama dan tujuan sampingan dalam beribadah.
Menurut Imam Syathibie, ada (dua) macam tujuan dalam beribadah, yaitu tujuan utama dan tujuan sampingan.
Tujuan utamanya yaitu untuk menghadap (Dzat) tunggal yang disembah dan untuk mencapai kedudukan yang baik di akhirat atau untuk menjadikan (kekasih Allah) dan sebagainya. Sedangkan tujuan sampingannya adalah untuk memperbaiki (akhlaq) jiwa, mentramkan hati, dan sebagainya.
Lebih lanjut Imam Syathibie menagtakan : maka seumpamanya (shalat). Asal mula diisyaratkannya adalah agar manusia tunduk kepada Allah dengan (ikhlas) menghadap kepada-Nya, meletakkan diri sebagai (hamba) yang (rendah) dan (hina) di hadapan-Nya, dan mengingatkan jiwa agar selalu ingat kepada-Nya.
Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Thoha ayat 14, yang artinya :
“Demikianlah shalat untuk mengingat-Ku
Juga dalam Surat Al-Ankabut ayat 45, yang artinya :
“ Sesungguhnya (shalat) itu mencegah perbuatan (keji) dan (munkar), dan untuk (mengingat) Allah Yang Maha Agung”.

Dari ayat di atas dapat diketahui, bahwa tujuan (shalat) disamping untuk mengingat Allah Yang Maha Agung juga untuk mencegah seseorang dari perbuatan (keji) dan (munkar).
Selain itu Hadits Riwayat Akhmad, Nisa’I, Hakim, dan Baihaqi disebutkan, bahwasanya Rasulullah S.A.W. telah bersabda, yang artinya :
“Aku jadikan kesejukan mataku dalam (shalat)”.

Sebagaimana ibadah (shalat), ibadah-ibadah yang lain juga mempunyai tujuan utama (tujuan ukhrowi) dan tujuan sampingnya (duniawi). Akan tetapi tujuan sampingan (tujuan duniawi) ini tidak boleh dijadikan (motif utama) bagi seseorang dalam menajlankan (ibadah).

1.       Tidak boleh sombong dalam beribadah kepada Allah.
Sesunggunghnya orang-orang yang sombong dalam beribadah itu baginya akan disediakan siksaan yang pedih sebagai balasan dari kesombongannya.
Perhatikan firman dalam Al-Qur’an Surat Ghofir ayat 60, yang artinya:
“ Sesungguhnya orang-orang yang sombong terhadap beribadah kepada-Ku akan masuk jahannam keadaan terhina”.

Juga dalam surat An-Nisa’ ayat 172-173, yang artinya :
“Barangsiapa yang tekabbur terhadap menyembah Allah dan sombong, nanti Allah akan menghimpunkan mereka sekalian kepada-Nya. Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan yang baik-baik, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah mereka dengan karunia-Nya. Adapun orang-orang yang sombong dan takabbur, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih dan mereka tiada memperoleh (wali) dan tiada pula pertolongan selain dari pada Allah”.
Pada dasarnya manusia itu (lemah) dan tidak bisa berbuat apa-apa. Kekuatan dan kemampuan baginya untuk melakukan sesuatu, termasuk juga (ibadah) yang dilakukannya adalah karena pertolongan Allah. Tetapi mengapa manusia lalu menyombongkan diri?. Itulah kebodohan manusia. Mereka tidak menyadari, bahwa sejelek-jelek orang adalah yang lemah tetapi sombong. Lalu apanya yang mereka sombongkan itu?. Apapun alasannya, semua itu omong kosong belaka. Padahal langit, bumi, matahari, bintang-bintang dan apapun yang ada diantara langit dan bumi (kecuali syetan) semuanya tunduk dan patuh kepada-Nya tanpa ada rasa kesombongan sedikitpun. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an Surat Al-Isro’ ayat 44, yang artinya :
“Langit-langit yang tujuh, dan bumi, dan siapa saja yang berada di dalamnya (semuanya) bertasbih (memuji) kepada-Nya, dan tidak ada satupun, melainkan berbakti dengan memuji kepada-Nya, tetapi kamu tidak mengerti cara mereka memuji (berbakti)”.

2.       Ciri-ciri orang yang beriman, di antara ibadah dengan akhlaq (prilaku).
Mengenai orang-orang yang beriman, di dalam Al-Qur’an telah disebutkan cirri-cirinya. Terkadang cirri-ciri yang dipandang dari segi ibadahnya dan terkadang pula dari segi akhlaqnya.
Di antara ayat-ayat Al-Qur’an tersebut adalah :
-                                  Dalam Surat Al-Mukminun ayat 1- 9, yang artinya :
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungghnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amananya (yang dipikulnya) dan janji-janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalatnya”.
-                                  Dalam Surat Al-Baqarah ayat 77, yang artinya :
“Bukanlah menghadapkan wajahnya kea rah timur dan barat itu suatu kebaktian-kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian-kebaktian itu adalah kebaktian orang-orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan dalam memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang minta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang sabar dalam kesempitan, penderitaan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. 

Disamping ayat yang disebutkan di atas masih banyak lagi ayat-ayat yang menyebutkan cirri-ciri orang yang beriman, baik dari segi ibadahnya maupun dari segi akhlaq atau perilakunya
Adapun yang dimaksud dengan akhlaq atau perilaku disini bukanlah akhlaq atau perilaku yang (bersifat budaya) atau kebiasaan-kebisaan yang berlaku di masyarakat, melainkan yang bersifat Robbaniyah (ketuhanan), diniyyah (keagamaan) atau yang mengandung nilai-nilai iman dan taqwa.

3.       Ibadah yang dilakukan orang mukmin merupakan pencerminan akhlaq,dan akhlaqnya merupakan pencerminan dari ibadah.

Dalam Al-Qur’an sering di jumpai adanya kesejajaran antara ibadah dengan akhlaq. Hal ini berarti, bahwa iabadah yang dilakukan oleh orang mukmin itu haruslah mencerminkan akhlaq yang terpuji. Demikian juga sebaliknya, akhlaq baginya haruslah merupakan pencerminan ibadah yang diwajibkan.
Seperti halnya orang-orang yang jujur, menunaikan amanat, menepati janji, sabar, memberi bantuan kepada yang memerlukan, mengasihi anak yatim, menyantuni fakir miskin dan sebagainya, maka semuanya itu dilakukan karena (digerakkan) oleh imannya kepada Allah, dorongan oleh harapan akan mendapatkan keridhoan Allah.
Allah telah memberi banyak sekali contoh tentang hal ini, di antara yang terdapat dalam Surat Ad-Dahr ayat 8, yang artinya :
“Dan mereka memberi makan yang dikasihinya kepada orang miskin, anak yatim dan orang tawanan”.

Kemudian Allah menerangkan factor-faktor yang mendorong mereka untuk beramal sedemikian itu, dan menerangkan pula (niat-niat) yang terkandung di dalam (hatinya). Karena itu Allah berfirman (sebagai penyambung lidah mereka) sebagaimana yang terdapat dalam lanjutan ayat di atas tadi, yakni dalam Surat Ad-Dahr ayat 9-10, yang artinya :
“kami hanya memberi makan kepadamu, karena mengharapkan keridhoan Allah, tiada kami menghendaki dari padamu balasan dan tidak pula terima kasih. Sesungguhnya kami ntakut dari pada Tuhan kami akan hari, (pada masa itu) orang-orang bermuka masam semasam-masamnya”.
Demikian uraian mengenai hubungan manusia dengan Allah (Hablum  minallaah) yang harus kita perhatikan dengan sebaik-baiknya. Dan disamping itu kita juga harus memperhatikan pula hubungan dengan sesame manusia. (Hablum manannas) dapat berjalan dengan seiring dan sejalan. Sebab pada dasarnya (Agama) islam itu tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Allah saja, tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, atau dengan kata lain tidak hanya mementingkan kehidupan akhirat saja, akan tetapi kepentingan dunia juga menjadi perhatiannya.
Dalam hal ini dikatakan, bahwa belum sempurna kehidupan beragama seseorang sehingga hubungannya dengan orang lain berjalan dengan baik.
Akan tetapi dalam huibungan dengan Allah maupun hubungan dengan manusia orang lain, seseorang sering kali membuat kesalahan atau kehilafan. Karena itulah (Agama Islam) menganjurkan kepada umatnya agar sering-sering berbuat dan memohon ampunan kepada Allah dan membereskan urusan-urusannya dengan orang lain.
Dalam hal ini Rasulullah s.A.W. pernah bersabda, yang artinya :
“setiap anak turunan Adam bisa saja berbuat salah, tetapi sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah mereka yang mau (bertaubat) dan (memohon ampunan) kepada Tuhan”.
Dan berikut ini adalah sebuah syair yang digambarkan ratapan seorang Abid yang begitu mendambakan ampunan atau (maghfiroh) dari-Nya:
“Wahai Tuhanku, sungguhnaku tidak pantas menjadi penghuni syurga Firdaus-Mu. Akan tetapi aku juga tidak kuat menerima siksa api neraka-Mu. Karena itu terimalah (taubatku) dan ampunilah dosa-dosaku, sungguh engkaulah yang berhak mrngampuni dosa, betapapun besarnya”.
“Dosaku sebanyak jumlah butir-butir pasir dipantai. Sudilah kiranya Engkau menerima (taubatku), Wahai Yang Maha Agung Umurku senantiasa berkurang, sedang dosaku senantiasa bertambah. Lalu bagaimana aku sanggup menanggungnya?”
“Wahai Tuhanku, hamba-Mu yang berlumuran dosa ini tengah datang dan mengadakan tangannya kepada-Mu. Andaikan Engkau sudi mengempuni, itu adalah hak-Mu. Tetapi andaikan engkau menolaknya, maka siapapun yang bisa diharapkan belas kasihnya selain Engkau Ya Allah”.

a.       Hubungan antara manusia dengan manusia (hubungan horizontal).
Sebagaimana yang telah diterangkan di atas tadi, selain membina hubungan manusia dengan Allah, Islam juga membina hubungan manusia dengan manusia yang lain. Demikian cermatnya Islam dalam membina hubungan ini sampai-sampai tidak dibenarkan seorang tetangga menyiksa tetangganya yang lain walau hanya dengan bau masakannya.
Beberapa Hadits yang ada kaitannya dengan pembinaan hubungan horizontal ini antara lain, yang artinya :
-          “Seseorang baru disebut muslim, apabila orang-orang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya (kekuasaannya)”.
-          Tidak sempurna Iman seseorang di antaramu, selama ia belum sanggup mencintai saudaranya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”.
-          “Allah akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba ini menolong  saudaranya’.
-          “Ada enam hak seorang muslim atas muslim lainnya, jika seorang muslim bertemu dengan kamu, hendaknya kamu beri salam. Jika dia mengundangmu, maka datanglah undangannya itu. Jika dia meminta nasehatmu, maka berilah dia nasehat. Jika dia bersin dan membaca  Al-Hamdulillah, maka do’aakan dia. Dan jika meninggal, maka antarkan dia kekuburan”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar