Ja’alaka
fiil’ilmil mutawassithi baina mulkihi wamalakuutihi liyu’allimuka jalaalata
qadrika baina makhluqatihi wa-annaka jauharatun tanthawii ‘alaika ashdafu
mukawwinaatihi.
Artinya : Allah menjadikan
kamu di dalam pertengahan ini, yaitu antara alam dunianya dan alam malaikat-Nya
untuk memberi pengertian kepadamu akan kebesaran kedudukanmu antara makhluq-Nya
dan bahwasanya kamu itu sebagai permata yang terlipat oleh wadahnya (tempatnya)
yang berupa alam ini”.
Sedah menjadi sunatullah bahwa
manusia di tempatkan oleh Allah di antara langit dan bumi bersama-sama dengan
makhluq lain, seperti tumbuhan, hewan dan benda-benda mati lainnya.
Hal ini dimaksudkan agar
manusia mengetahui bahwa dirinya di ciptakan oleh Allah melebihi dari makhluq
lainnya.
Perhatikan firman Allah dalam
Al-Qur’an Surat Al-Isroo ayat 70, yang artinya :
“dan sesungguhnya kami telah
memuliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami
beri (rizqi) dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluq yang telah kami ciptakan”.
Juga dalam Surat
At-Tin ayat 4, yang artinya :
“Sesungguhnya kami
telah ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Akan tetapi patut
disayangkan, meskipun sudah di beri kelebihan dan keistimewaan yang begitu besar, namun kebanyakan di antara manusia
tidak mau (bersyukur) dan (mengabdikan diri) kepada-Nya. Padahal tujuan sebenarnya dari diciptakannya
manusia adalah untuk mengabdi beribadah
kepada-Nya.
Hal ini sebagaimana firman
Allah dalam Al-qur’an Surat Adz-Dzaariyat ayat 56-57, yang artinya :
“Dan Aku (Allah)
tidak menciptakan (jin) dan (manusia),melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki (rizqi)
sedikitpun dari mereka dan Aku menghendaki supaya memberi Aku makan”.
Berdasarkan ayat di
atas dapat kita simpulkan, bahwa manusia diciptakan oleh Allah di dunia ini
adalah untuk (mengabdi) atau (beribadah) kepada-Nya. Selain itu juga
(pengabdian) atau (ibadah) yang dilakukan oleh manusia itu bukanlah kepentingan
Allah, tetapi justru untuk kepentingan dirinya sendiri.
Karena sebagaimana
tubuh (jasmani) yang minta dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya, seperti makan,
pakaian dan sebagainya, maka begitu juga dengan jiwa (rohani) manusia. Ia juga
minta dipenuhi kebutuhannya, yakni yang berupa (ibadah) kepada-Nya. Dengan
(ibadah) itu, jiwa manusia menjadi tenang, tentram dan bahagia.
1.
Ibadah sebagai santapan Rokhani.
Di atas tadi telah diterangkan,
bahwa ibadah merupakan kebutuhan bagi manusia. Karena itu seseorang yang tidak
mau atau jarang sekali beribadah, maka dapat dipastikan jiwanya akan
kering-kerontang, jauh dari rasa aman, jauh dari ketenangan dan jauh dari kebahagiaan
hidup yang (hakiki)
Dalam hal ini Ibnu Taimiyah
pernah mengatakan :
“Hati itu sendirisebenarnya
butuh kepada Allah dilihat dari dua jurusan : dari segi ibadah dan dari segi
permintaan tolong dan tawakal. Maka hati tidak akan menjadi beres, merasa
senang, gembira, enak, baik dan tentram, melainkan dengan beribadah kepada
Tuhannya Yang Esa dan mencintai-Nya serta bertaubat kepada-Nya. Kalaupun
seandainya kesenangan itu bisa dicapai dari makhluq, namun tidak akan bisa
merasa tenang dan tentram sebab di dalam hatinya itu ada perasaan mendasar,
yaitu perlu kepada Tuhannya……….
2.
Jalan menuju kebenaran adalah
yang mengabdi kepada Allah.
Tidak ada sikap yang lebih
mulia bagi seseorang, melainkan dengan membebaskan dirinya dari segala macam
belenggu perbudakan, seperti perbudakan oleh harta, kedudukan, kekuasaan,
wanita dan sebagainya.
Adapun satu-satunya jalan untuk
membebaskan diri itu tidak lain adalah dengan semata-mata hanya mengabdi kepada
Allah. Dengan pengabdian ini maka ketundukan, ketaatan dan kepatuhan hati hanya
akan tertuju kepada-Nya. Dan dengan demikian seseorang akan merasa dengan
senang hati tanpa beban dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangannya.
3.
Ibadah merupakan salah satu
bentuk bagi manusia.
Kehidupan yang dialami oleh
setiap manusia di dunia ini bukanlah merupakan tujuan akhir dari sebuah perjalanan tetapi hanya merupakan terminal atau tempat persiinggahan sementara guna
melanjutkan perjalanan lagi lebih panjang
dan jauh, yakni menuju perkampungan akhirat di mana seseorang akan tinggal
di sana buat selama-lamanya.
Hal inio sebagaimana yang
dikatakan oleh seorang penyair arab, bahwa kematian itu hanyalah suatu
perjalanan dari rumah yang (fana)
menuju kampong yang (abadi).
Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Ankabut ayat 64, yang artinya :
“Sesungguhnya hidup di akhirat
sebenarnya hidup kalau mereka mengerti”
.
Karena itu manusia hendaknya
mempersiapkan diri sebaik-baiknya dan mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk
dibawa keperkampungan (akhirat) kelak. Dan dalam hal ini tidak ada berupa amal
ibadah.
Akan tetapi untuk melaksanakan
amal ibadah itu tidak jarang harus mengatasi uijian-ujian atau
rintangan-rintangan terlebih dahulu. Dan dari ujian-ujian atau
rintangan-rintangan ini Allah dapat
mengetahui siapa-siapa di antara manusia yang benar-benar mau tunduk dan taat
kepada-Nya dan siapa-siapa pula yang malas dan enggan melaksanakan
perintah-perintah-Nya.
Allah berfirman dalam Al-qur’an Surat Al-Kahfu ayat 7, yang artinya :
“ Sesungguhnya Kami (Allah) menjadikan apa yang ada dibumi
sebagai perhiasan baginya, supaya Kami menguji mereka (manusia) siapa di antara mereka-mereka itu yang lebih baik
amalnya”.
Sesuatu yang baik tentu mahal harganya dan susah
pula dalam mendapatkannya. Demikian pula syurga yang tentu saja jauh lebih baik
dari dunia dengan segala macam isinya ini. Ia (syurga itu) harus dicapai dengan pengorbanan yang tidak sedikit
dan perjuangan yang tidak ringan. Hal ini sebagaimana yang telah
di firmankan Allah dalam Al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 142, yang artinya :
“ Apakah kamu mengira, bahwa
kamu akam masuk syurga, padahal Allah belum tahu orang-orang yang berjuang di
antara kamu dan (Allah) belum tahu orang-orang yang sabar”.
4. Ibadah
adalah merupakan hak Allah yang harus dipenuhi oleh hambanya.
Ibadah sudah semestinya dan
sudah sewajarnya, apabila “Yang memiliki”. Itu menuntut hak kepda “Yang
dimiliki”. Dengan demikian juga dengan Allah Maka sudah semestinya pula apabila
Dia menuntut hak-Nya kepada manusia, yakni yang berupa (ibadah).
Hal ini sebagaimana yang
tersebut dalam sebuah Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim berikut ini, yang
artinya :
“ Dai Muadz bin Jabar r.a. ia
berkata : Aku pernah membonceng himar Rasulullah S.A.W. lalu beliau bertanya
kepadaku :”Hai Muadz, taukah engkau apakah hak Allah atas hambanya?”Aku
menjawab Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Maka sabda Rasulullah S.A.W.:”Hak
Allah atas hamba-Nya yaitu : hendaknya mereka menyembah Allah dan janganlah
menyekutukan Dia dengan sesuatu”.
Maha Besar Allah Yang telah
menciptakan manusia dari (setetes air
mani), kemudian dilahirkannya ke dunia dalam keadaan telanjang bulat dan
tidak punya apa-apa, kemudian diberinya kekuatan, (dicukupinya) kebutuhan-kebutuhan, dan disempurnakan pula
kenikmatan-kenikmatan baginya.
Oleh karena itu tidaklah aneh
dan tidak pula berlebih-lebihan apabila Allah Yang telah menciptakan dan
mencukupi kebutuhan-kebutuhan manusia itu berhak untuk disembah, diibadahi,
dimintai pertolongan, dan dijadikan tempat bergantung.
Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 21-22, yang artinya
:’
“ Hai manusia, sembahlah
Tuhanmu yang telah menjadikan kamu dan orang-orang sebelum kamu, supaya kamu
terpelihara. Dzat Yang telah menjadikan bumi ini buat kamu sebagai hamparan dan
langit sebagai atap, dan ia turunkan air hujan dari langit, lalu dengan
(perantaraan) air itu ia keluarkan buah-buahan sebagai (rizqi) buat kamu. Oleh karena itu janganlah kamu menjadikan sekutu
bagi Allah, padahal kamu tahu”.
Akan tetapi yang lebih aneh
dari yang paling aneh dan yang lebih mengherankan dari yang paling mengherankan
dari manusia itu tidak mau (beribadah) kepada Dzat Yang telah menciptakannya,
mencukupi kebutuhan-kebutuhannya, dan yang telah menyempurnakan
kenikmatan-kenikmatan baginya.
Sehubungan dengan hal ini Allah
berfirman dalam hadits Qudsi, yang artinya :
“Aku (Allah), jin dan manusia berada
dalam berita yang besar, yaitu Aku yang menjadikan (manusia) tetapi dia menyembah selain Aku. Aku yang memberinya (rizqi)
tetapi dia berterima kasih kepada selain Aku.
Budi baik-Ku kepada manusia terus mengalir, tetapi kejahatan mereka itu
kepada-Ku terus menjadi-jadi. Aku mencintai
mereka dengan nikmat-Ku padahal Aku tidak
butuh kepada mereka, tetapi mereka kemudian menentang Aku dengan berbagai kedurhakaan sedang mereka merupakan (makhluq) yang paling membutuhkan (Aku)”.
Berdasarkan
keterangan-keterangan di atas kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa ibadah itu
pada prinsipnya sudah merupakan tuntutan yang wajib dipenuhi manusia, dalam
arti yang dituntut adalah tujuannya
dan bukan cara atau sarananya, yakni
dengan derajat yang pokok dalam ibadah, yaitu mengerjakan perintah-perintah-Nya dan memenuhi hak-hak-Nya.
5.
Ibadah itu merupakan usaha
untuk mencari pahala dan menjauhkan diri dari azab.
Mengenai boleh dan tidaklah seseorang
beribadah kepada Allah dengan tujuan agar dimasukkan ke dalam syurga dan
dihindarkan dari neraka itu ada macam pendapat.
Pendapat pertama, yakni dari
para ahli tasawuf. Mereka ini tidak setuju (tidak
membiarkan) apabila ada seseorang yang beribadah kepada Allah dengan tujuan
seperti yang telah tersebut tadi. Sebab menurut mereka , mahabbah (mencintai) Allah yang sebenar-benarnya
adalah (beribadah) kepada-Nya tanpa
mengharapkan apapun balasan dari-Nya alias tidak boleh ada (pamrih) sedikitpun. Sedangkan apabila dalam menjalankan ibadahnya
itu seseorang bertujuan agar mendapatkan pahala
dan dijauhkan dari azab (siksa),
maka yang demikian ini bararti ada (pamrih)
dalam ibadahnya. Padahal mengenai pahala
itu sudah pasti diberikan oleh Allah, baik dimintanya ataupun tidak, karena hak ini sudah merupakan kepastian dari-Nya.
Selain itu para ahli tasawuf
juga mengatakan :
“seorang hamba kepada
Tuhannya itu tidaklah seperti seorang buruh yang jelek, yaitu yang akan bekerja
kalau diberi upah. Sedangkan jika tidak diberi upah, maka buruh itu tidak mau
bekerja”.
Terhadap penghambaan
sebagaimana yang dilakukan oleh yang jelek itu mereka menyindirnya dalam sebuah
syair berikut ini :
“Semua menyembah
karena takut neraka, dan mereka memandang keselamatan itu sebagai bagian yang
paling besar atau mereka ingin masuk syurga, lalu mendapat nikmat yang besar
dan dapat minum salsabil syurga dan mereka itu bukanlah hakku, kecintaan-Ku
tidak menuntut ganti”
Adapun pendapat yang kedua,
yakni para ulama, mereka ini berpendapat, bahwa tidak berdosa seseorang yang
beribadah kepada Allah karena ingin mendapatkan syurga dan untuk menghindarkan
diri dari siksa neraka.
Pendapat ini didasarkan pada
firman-firman Allah yang diantaranya terdapat pada :
- Surat Al-Furqan ayat 16, yang
artinya :
“Dan orang-orang yang berkata
:Yaa Tuhan Kami, hindarkanlah azab jahanam itu dari kami, karena azabnya itu
amat jahat. Sesungguhnya jahanam itu tempat tinggal dan tempat berdiam yang
jelek”.
- Surat Al-Imran ayat 16, yang artinya :
“Orang-orang yang berkata : Yaa
Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman. Oleh karena itu ampunilah
dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari (siksa) api neraka”.
- Surat
Al-Imran ayat 194-195, yang artinya
:
“Yaa Tuhan kami, berilah kami
apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan-perantaraan
Rasul-Mu.dan janganlah engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau
tidak menyalahi janji. Maka Tuham memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman):Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal
diantara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah
turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang hijrah, yang diusir dari
kampong halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh,
pastilah akan kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan
mereka ke dalam syurga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya, sebagai pahala
di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”.
Selain ayat-ayat di atas, ada
pula sebuah riwayat yang oleh para ulama juga dipakai sebagai dasar untuk
menguatkan pendapatnya. Di antaranya adalah yang artinya sebagai berikut iani :
“Aesungguhnya Allah Ta’ala akan
bertanya kepada mereka tentang hamba-Nya, (pahala ia lebih tahu tentang mereka
itu), lalu malaikat berkata : Kami datang kepada-Mu (dengan membawa catatan
yang kami ambil) dari hamba-hamba-Mu yang (bertahlil, bertakbir, bertahmid dan
bertamjij (mengagungkan0 Engkau, lalu Allah Azza Wajalla bertanya lagi : Apakah
mereka melihatnya. Tidak. Demi kegagahan-Mu mereka itu tidak melihatnya. Lalu
Allah bertanya : Bagaimana seandainya mereka itu melihat Engkau, niscaya mereka
bertambah sangat dalam mengagungkan Engkau. Malaikat kemudian berkata lagi : Ya
Tuhan kami, mereka itu minta kepada-Mu akan syurga-Mu. Allah bertanya : Apakah
mereka melihatnya?. Malaikat menjawab : Tidak. Demi kegagahan-Mu, mereka itu
tidak melihatmu, niscaya mereka sangat dalam memintanya. Malaikat berkata lagi
: Mereka juga meminta perlindungan-Mu dari neraka. Allah Azza wajalla bertanya
lagi : Apakah mereka melihatnya?. Malaikat menjawab Tidak. Demi kegagahan-Mu
mereka itu tidak melihatnya?. Malaikat menjawab : Jika mereka melihatnya,
niscaya mereka akan lebih sangat takutnya dari neraka. Lalu Allah berkata :
sunguhn Aku jadikan saksi kamu, bahwa telah mengagumi mereka, dan Aku memberi
apa yang mereka minta, mereka itu minta perlindungan”.
Lalu bagaimana pendapt
(pendirian) kita sendiri dalam mensikapi dua macam perbedaan di atas tadi?.
Untuk itu ada baiknya kalau kita menengok pendirian dari Imam Ibnu Qoyyim
berikut ini.
Pada dasarnya ibnu Qoyyim tidak
memihak kepada pendapat para ahli tasawuf, akan tetapi ia juga tidak memihak
kepada pendapat para ulama jadi ia berdiri ditengah-tengah (diantara) dua
pedapat tadi.
Menurut kesimpulannya, bahwa
syurga itu bukan sekedar nama dari pepohonan yang indah dan buah-buahan yang
ranum, bukan sekedar makanan dan minuman yang lezat,bukan bidadari yang cantik
jelita, bukan sungai-sungai yang airnya jernih mengalir, dan juga bukan istana
yang megah. Akan tetapi sesungguhnya syurga itu adalah satu nama bagi tempat
kenikmatan syurga yang paling besar adalah kegembiraan melihat Allah Yang Maha
Mulia, mendengar firman-Nya, dan suasana yang nyaman dan menyejukkan berada di
sampung-Nya. Tidak bisa dinisabkan kelezatan makanan, minuman, pakaian, dan
pemandangan-pemandangan yang ada di dalamnya dengan kelezatan (dunia) ini sama
sekali, jadi keluasan ridho-Nya jauh lebih besar dari syurga segala macam
isinya. Hal ini sebagaiman firman Allah dalam Al-qur’an surat At-Taubah ayat 72, yang artinya :
“dari keridhoan Allah adalah
lebih besar”.
Yang dimaksud “keridhoan Allah” pada ayat di atas
adalah mencakup apa saja yang diridhoi-Nya. Termasuk ridho bahwa hambanya-Nya
berada di dalam syurga.
Selain ayat di atas, ada pula
beberapa Hadits yang menerangkan tentang kenikmatan melihat Allah. Di antaranya
:
“Maka demi Allah, tidak ada
sesuatu pun yang diberikan Allah kepada mereka yang lebih mereka cintai selain
melihat kepada diri-Nya”.
“Sesungguhnya Allah Yang Maha
Suci, apabila menakpakkan diri-Nya mereka melupakan segala kenikmatan”.
Lebih lanjut Imam Ibnu Qoyyiim
mengatakan :
“Tidak ragu lagi, bahwa
persolalannya memang demikian, yaitu dia (Allah) semulia-mulia sesuatu
terlintas dalm hati atau yang terbayang dalam hayalan, lebih-lebih pada saat
keberhasilan oaring-orang yang mencintai di sana (disyurga) berdampingan dengan (kekasihnya),
maka kenikmatan, kelezatan,kesenagan dan
keberhasilan yang manakah yang lebih besar dari kenikmatan, kelezatan dan kesenagan
berdampingan dengan (kekasihnya)”.
Maka dengan dengan demikian
dapat dikatakan, bahwa Allah-lah yang menjadi (inti) dari keindahan dan kenikmatan syurga, dan lebih indah serta
lebih nikmat dari segala papapun yang ada didalamnya.
Karena itu apabila para Rasul
dan pengikut-pengikutnya berharap agar di jauhkan dari neraka, maka sebab yang
utama adalah karena di dalam neraka itu jauh dari Allah, tidak dapat melihat
kepada-Nya, mendapat kemurkaan-Nya dan di jauhkan dari rahmat-Nya, yang kesemuanya
itu lebih berat dan lebih mengerikan dari pada jilatan api neraka.
Tepat sekali apa yang pernah
dikatakan olrh Robi’ah Al-Adawiyah :
“Saya lebih senang masuk neraka
dengan ridho-Nya dari pada masuk syurga dengan kemurkaan-Nya”.
6. Apakah ibadah hanya sekedar jalan atau cara
untuk mendidik jiwa?.
Ada semacam propaganda
beracun yang disebarkan oleh kaum atheis (kaum yang tidak mengakui adanya
Tuhan) dan sebagian besar kaum perusak. Mereka itu mengatakan, bahwa
sesungguhnya tujuan-tujuan agama dengan segala macam ajarannya adalah untuk
memperbaiki jiwa, mendidik hati dan memperluas budi. Karena itu jika seseorang
sudah sampai pada tujuan yang dimaksud, maka ia sudah tidak perlu lagi mematuhi
ajaran-ajaranya atau beribadah kepada-Nya. Karena tidak lain kesemuanya itu
sekedar merupakan jalan atau cara, dan bukan merupakan tujuan.
Pendapat di atas itu sudah
jelas salahnya. Karena pada hakekatnya yang dikehendaki oleh Allah dalam
beribadah itu bukan hanya sekedar tujuannya saja, tetapi juga meliputi
tuntunannya (maksudnya dalam mengerjakan ibadah itu harus sesuai dengan
petunjuk-petunjuk yang telah digariskan, tidak mengurangi dan tidak pula
melebihkan).
Selain itu, ibadah yang dikerjakan oleh seseorang
itu sebenarnya bukan untuk Allah,
melainkan untuk dirinya sendiri.
Karena sesungguhnya manusialah yang
butuh kepada-Nya dan bukan
sebaliknya.
Berikut ini adalah
beberapa ayat bisa dijadikan sebagai dasar untuk menolak pendapat (atheis) dan
kaum perusak tadi, ayat-ayat tersebut di antaranya terdapat pada :
-
Surat Adz-Dzaariyat
yat 56, yang artinya :
“ Dan Aku (Allah)
tidak menjadikan (Jin) dan (Manusia), melainkan agar mereka mengabdi
kepada-Ku”.
-
Surat Al-Baqarah
ayat 183, yang artinya :
“ Diwajibkan atas
kamu sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan
kamu terpelihara”.
-
Surat Al-Fathir
ayat 15-17, yang artinya :
“ Wahai sekalian
manusia, kalianlah yang faqir (berkeperluan) kepada Allah. Sedangkan Allah
Dia-Lah Yang Maha Kaya, Maha Terpuji. Jika ia menghendaki, kalian bisa
dimusnahkan, dan ia datangkan generasi (baru) yang lain. Dan yang demikian itu
bagi Allah bukan hal yang sukar”.
Dengan demikian
terhadap pertanyaan di atas (dalam sub judul) kita dapat memberikan jawaban,
bahwa ibadah itu bukan hanya sekedar jalan atau alat untuk mendidik jiwa saja.
Tetapi lebih dari pada itu adalah untuk memenuhi hak-hak Allah.
Karena itu kalau
ada seseorang yang beribadah dengan tujuan hanya untuk mendidik jiwanya tanpa
memandang hak Allah atas dirinya, maka ibadahnya itu tidak lebih dari sekedar (tradisi) biasa yang tidak mempunyai (nilai)
sedikitpun untuk diterima sisisi-Nya.
7. Tujuan
utama dan tujuan sampingan dalam beribadah.
Menurut Imam
Syathibie, ada (dua) macam tujuan
dalam beribadah, yaitu tujuan utama dan tujuan sampingan.
Tujuan utamanya
yaitu untuk menghadap (Dzat) tunggal
yang disembah dan untuk mencapai kedudukan yang baik di akhirat atau untuk
menjadikan (kekasih Allah) dan
sebagainya. Sedangkan tujuan sampingannya adalah untuk memperbaiki (akhlaq) jiwa, mentramkan hati, dan
sebagainya.
Lebih lanjut Imam
Syathibie menagtakan : maka seumpamanya (shalat). Asal mula diisyaratkannya
adalah agar manusia tunduk kepada Allah dengan (ikhlas) menghadap kepada-Nya, meletakkan diri sebagai (hamba) yang (rendah) dan (hina) di
hadapan-Nya, dan mengingatkan jiwa agar selalu ingat kepada-Nya.
Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Thoha ayat 14, yang artinya :
“Demikianlah shalat untuk mengingat-Ku
Juga dalam Surat Al-Ankabut ayat 45, yang artinya :
“ Sesungguhnya (shalat) itu mencegah perbuatan (keji) dan (munkar), dan untuk (mengingat)
Allah Yang Maha Agung”.
Dari ayat di atas dapat
diketahui, bahwa tujuan (shalat)
disamping untuk mengingat Allah Yang Maha Agung juga untuk mencegah seseorang
dari perbuatan (keji) dan (munkar).
Selain itu Hadits Riwayat
Akhmad, Nisa’I, Hakim, dan Baihaqi disebutkan, bahwasanya Rasulullah S.A.W.
telah bersabda, yang artinya :
“Aku jadikan kesejukan mataku dalam (shalat)”.
Sebagaimana ibadah (shalat),
ibadah-ibadah yang lain juga mempunyai tujuan utama (tujuan ukhrowi) dan tujuan
sampingnya (duniawi). Akan tetapi
tujuan sampingan (tujuan duniawi) ini tidak boleh dijadikan (motif utama) bagi seseorang dalam
menajlankan (ibadah).
1.
Tidak boleh sombong dalam
beribadah kepada Allah.
Sesunggunghnya orang-orang yang
sombong dalam beribadah itu baginya akan disediakan siksaan yang pedih sebagai
balasan dari kesombongannya.
Perhatikan firman dalam Al-Qur’an Surat Ghofir ayat 60, yang artinya:
“ Sesungguhnya orang-orang yang sombong terhadap beribadah kepada-Ku
akan masuk jahannam keadaan terhina”.
Juga dalam surat An-Nisa’
ayat 172-173, yang artinya :
“Barangsiapa yang tekabbur
terhadap menyembah Allah dan sombong, nanti Allah akan menghimpunkan mereka
sekalian kepada-Nya. Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan yang
baik-baik, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah mereka
dengan karunia-Nya. Adapun orang-orang yang sombong dan takabbur, maka Allah
akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih dan mereka tiada memperoleh
(wali) dan tiada pula pertolongan selain dari pada Allah”.
Pada dasarnya manusia itu
(lemah) dan tidak bisa berbuat apa-apa. Kekuatan dan kemampuan baginya untuk
melakukan sesuatu, termasuk juga (ibadah) yang dilakukannya adalah karena
pertolongan Allah. Tetapi mengapa manusia lalu menyombongkan diri?. Itulah
kebodohan manusia. Mereka tidak menyadari, bahwa sejelek-jelek orang adalah
yang lemah tetapi sombong. Lalu apanya yang mereka sombongkan itu?. Apapun
alasannya, semua itu omong kosong belaka. Padahal langit, bumi, matahari,
bintang-bintang dan apapun yang ada diantara langit dan bumi (kecuali syetan)
semuanya tunduk dan patuh kepada-Nya tanpa ada rasa kesombongan sedikitpun. Hal
ini sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an
Surat Al-Isro’
ayat 44, yang artinya :
“Langit-langit yang tujuh, dan
bumi, dan siapa saja yang berada di dalamnya (semuanya) bertasbih (memuji)
kepada-Nya, dan tidak ada satupun, melainkan berbakti dengan memuji kepada-Nya,
tetapi kamu tidak mengerti cara mereka memuji (berbakti)”.
2.
Ciri-ciri orang yang beriman,
di antara ibadah dengan akhlaq (prilaku).
Mengenai orang-orang yang
beriman, di dalam Al-Qur’an telah disebutkan cirri-cirinya. Terkadang
cirri-ciri yang dipandang dari segi ibadahnya
dan terkadang pula dari segi akhlaqnya.
Di antara ayat-ayat Al-Qur’an
tersebut adalah :
-
Dalam Surat Al-Mukminun ayat 1-
9, yang artinya :
“Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman. (yaitu)
orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri
dari (perbuatan dan perkataan) yang
tidak berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang
menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka
miliki, maka sesungghnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa
mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan
orang-orang yang memelihara amanat-amananya (yang dipikulnya) dan janji-janjinya, dan orang-orang yang
memelihara shalatnya”.
-
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 77,
yang artinya :
“Bukanlah menghadapkan wajahnya
kea rah timur dan barat itu suatu kebaktian-kebaktian, akan tetapi sesungguhnya
kebaktian-kebaktian itu adalah kebaktian orang-orang yang beriman kepada Allah,
hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan dalam memberikan
harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan)
dan orang-orang yang minta-minta, dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”.
Disamping
ayat yang disebutkan di atas masih banyak lagi ayat-ayat yang menyebutkan
cirri-ciri orang yang beriman, baik dari segi ibadahnya maupun dari segi akhlaq
atau perilakunya
Adapun
yang dimaksud dengan akhlaq atau perilaku disini bukanlah akhlaq atau perilaku
yang (bersifat budaya) atau
kebiasaan-kebisaan yang berlaku di masyarakat, melainkan yang bersifat Robbaniyah
(ketuhanan), diniyyah (keagamaan) atau yang mengandung
nilai-nilai iman dan taqwa.
3.
Ibadah yang dilakukan orang
mukmin merupakan pencerminan akhlaq,dan akhlaqnya merupakan pencerminan dari
ibadah.
Dalam Al-Qur’an sering di
jumpai adanya kesejajaran antara ibadah dengan akhlaq. Hal ini berarti, bahwa
iabadah yang dilakukan oleh orang mukmin itu haruslah mencerminkan akhlaq yang
terpuji. Demikian juga sebaliknya, akhlaq baginya haruslah merupakan
pencerminan ibadah yang diwajibkan.
Seperti halnya orang-orang yang
jujur, menunaikan amanat, menepati janji, sabar, memberi bantuan kepada yang
memerlukan, mengasihi anak yatim, menyantuni fakir miskin dan sebagainya, maka
semuanya itu dilakukan karena (digerakkan)
oleh imannya kepada Allah, dorongan oleh harapan akan mendapatkan keridhoan
Allah.
Allah telah memberi banyak
sekali contoh tentang hal ini, di antara yang terdapat dalam Surat Ad-Dahr ayat 8, yang artinya :
“Dan mereka memberi makan yang
dikasihinya kepada orang miskin, anak yatim dan orang tawanan”.
Kemudian Allah menerangkan
factor-faktor yang mendorong mereka untuk beramal sedemikian itu, dan
menerangkan pula (niat-niat) yang
terkandung di dalam (hatinya).
Karena itu Allah berfirman (sebagai
penyambung lidah mereka) sebagaimana yang terdapat dalam lanjutan ayat di
atas tadi, yakni dalam Surat Ad-Dahr ayat 9-10, yang artinya :
“kami hanya memberi makan
kepadamu, karena mengharapkan keridhoan Allah, tiada kami menghendaki dari
padamu balasan dan tidak pula terima kasih. Sesungguhnya kami ntakut dari pada
Tuhan kami akan hari, (pada masa itu)
orang-orang bermuka masam semasam-masamnya”.
Demikian uraian mengenai
hubungan manusia dengan Allah (Hablum minallaah) yang harus kita perhatikan
dengan sebaik-baiknya. Dan disamping itu kita juga harus memperhatikan pula
hubungan dengan sesame manusia. (Hablum
manannas) dapat berjalan dengan seiring dan sejalan. Sebab pada dasarnya
(Agama) islam itu tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Allah
saja, tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, atau
dengan kata lain tidak hanya mementingkan kehidupan akhirat saja, akan tetapi
kepentingan dunia juga menjadi perhatiannya.
Dalam hal ini dikatakan, bahwa
belum sempurna kehidupan beragama seseorang sehingga hubungannya dengan orang
lain berjalan dengan baik.
Akan tetapi dalam huibungan
dengan Allah maupun hubungan dengan manusia orang lain, seseorang sering kali
membuat kesalahan atau kehilafan. Karena itulah (Agama Islam) menganjurkan
kepada umatnya agar sering-sering berbuat dan memohon ampunan kepada Allah dan
membereskan urusan-urusannya dengan orang lain.
Dalam hal ini Rasulullah s.A.W.
pernah bersabda, yang artinya :
“setiap anak turunan Adam bisa
saja berbuat salah, tetapi sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah mereka
yang mau (bertaubat) dan (memohon ampunan) kepada Tuhan”.
Dan berikut ini
adalah sebuah syair yang digambarkan ratapan seorang Abid yang begitu
mendambakan ampunan atau (maghfiroh) dari-Nya:
“Wahai Tuhanku,
sungguhnaku tidak pantas menjadi penghuni syurga Firdaus-Mu. Akan tetapi aku
juga tidak kuat menerima siksa api neraka-Mu. Karena itu terimalah (taubatku)
dan ampunilah dosa-dosaku, sungguh engkaulah yang berhak mrngampuni dosa,
betapapun besarnya”.
“Dosaku sebanyak
jumlah butir-butir pasir dipantai. Sudilah kiranya Engkau menerima (taubatku),
Wahai Yang Maha Agung Umurku senantiasa berkurang, sedang dosaku senantiasa
bertambah. Lalu bagaimana aku sanggup menanggungnya?”
“Wahai Tuhanku,
hamba-Mu yang berlumuran dosa ini tengah datang dan mengadakan tangannya
kepada-Mu. Andaikan Engkau sudi mengempuni, itu adalah hak-Mu. Tetapi andaikan
engkau menolaknya, maka siapapun yang bisa diharapkan belas kasihnya selain
Engkau Ya Allah”.
a.
Hubungan antara
manusia dengan manusia (hubungan horizontal).
Sebagaimana yang
telah diterangkan di atas tadi, selain membina hubungan manusia dengan Allah,
Islam juga membina hubungan manusia dengan manusia yang lain. Demikian cermatnya
Islam dalam membina hubungan ini sampai-sampai tidak dibenarkan seorang
tetangga menyiksa tetangganya yang lain walau hanya dengan bau masakannya.
Beberapa Hadits
yang ada kaitannya dengan pembinaan hubungan horizontal ini antara lain, yang
artinya :
-
“Seseorang baru disebut muslim, apabila orang-orang lain selamat
dari gangguan lisan dan tangannya (kekuasaannya)”.
-
Tidak sempurna Iman seseorang di antaramu, selama ia belum sanggup
mencintai saudaranya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”.
-
“Allah akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba ini
menolong saudaranya’.
-
“Ada
enam hak seorang muslim atas muslim lainnya, jika seorang muslim bertemu dengan
kamu, hendaknya kamu beri salam. Jika dia mengundangmu, maka datanglah
undangannya itu. Jika dia meminta nasehatmu, maka berilah dia nasehat. Jika dia
bersin dan membaca Al-Hamdulillah, maka
do’aakan dia. Dan jika meninggal, maka antarkan dia kekuburan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar