Inna qurratal’aini bisy-syuhuudi ‘alaa qadril ma’rifati
bilmasyhuudi farrasuulu shalawaatullaahi wasalamuhu laisa ma’rifatu ghairihi
kama’rifati falaisa qurrata ‘ainin kaqurratihi wainnamaa qulnaa innaqurrata
‘ainihi fii shalaatihi bisyhuudihi jalaala masyhuudihi li-annahu qad asyaara
ilaa dzaalika biqaulihi dish-shalaati walam yaqul bish-shalaati idzhuwa
shalawatullaahi ‘alaihi wasalamuhu laataqarru ’ainahu bighairi rabbihi, wakaifa
wahuwa yadullu ‘alaa hadzaalmaqaami waya’murubihi man siwahu biqaulihi
shalallaahu ‘alaihi wasallama : u’budillaaha ka-annaka tarahu wamuhaalun
anyarahu wayasyhada ma’ahu siwahu fain qala qa-ilun qad takuunu qurratul’aini
bish-shalawati li-annahaa fadhlun minalllaahi wabarizatun minallaahi fakaifa
laayafrahu biha wakaifa laatakuunu qurratul’aini bihaa waqad qala subhaanahu
wata’alaa qul bifadhlillaahi birahmatihi fabidzaalika falyafrahuu (al-ayat).
Fa’lam annal-ayata qad auma-at ilaljawabi liman tadabbara sirralkhithabi idz
qala : fabidzaalika falyafrahuu wamaqala : fabidzalika fafrah yaa Muhammadu qul
lahum falyafrahuu bil-ihsaani wattafadh-dhuli walyakun farahaka anta
bilmutafadh-dhili kamaa qala fiil-ayati l-ukhraa : qulillahu tsumma dzarhum
fiikhaudhihim yal’abuuna.
Artinya
: Sesungguhnya kesenangan (kepuasan) melihat Allah itu menurut kadar
“ma’rifatnya” terhadap apa yang dilihat, sedang ma’rifat Rasulullah S.A.W. itu
tidak bias disamakan dengan ma’rifatnya orang lain. Maka tidak ada kesenangan
seperti kesenangan beliau. Sesungguhnya saya katakana bahwasanya kepuasan
beliau itu ada dalam “shalat” sebab
menyaksikan kebesaran yang dilihatnya, karena Nabi sendiri telah mengisyaratkan
dalam sabdanya :”Di dalam shalat “.
Beliau tidak mengatakan :”Dengan
shalat”, karena beliau tidak akan merasa puas hatinya selain Tuhannya.
Bagaiman tidak demikian. Padahal beliau sendiri menganjurkan untuk mencapai
tingkat itu dalam sabdanya : Sembahlah Allah seakan-akan kamu melihat
kepada-Nya”. Maka mustahillah Allah dan juga melihat lainnya di samping Allah.
Apabila orang berkata :” Kadang-kadang kepuasan itu dapat diperoleh dengan
“shalat” karena “shalat” itu sebagai “anugrah” dari Allah dan timbul dari
sumber pemberian Allah”. Maka bagaimana dia tidak gembira dengan “shalat” itu,
dan bagaimana pula dia tidak akan puas dengan shalat itu?. Padahal Allah
sendiri telah berfirman, yang artinya : “Katakanlah : Dengan karunia Allah dan
rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira”. (QS Yunus 58). Maka ketahuilah, bahwa ayat itu telah member isyarat
jawaban bagi orang yang mau “berfikir”
akan “rahasia khitab” (pembicaraan
yang ada dalam ayat itu) yang artinya : “ Hendaklah dengan itu mereka
bergembira “. Dia tidak berfirman (yang artinya) :”maka dengan itu
bergembiralah, Muhammad. Katakanlah kepada mereka :”Maka hendaklah mereka
bergembira dengan kebaikan dan keutamaan. Akan tetapi hendaklah kegembiraan itu
hanya dengan “Dzat” yang member
kautamaan”.
Dengan
mengerjakan shalat seseorang dapat merasakan kepuasan hati yang tiada taranya.
Tentu saja dalam hal ini shalat yang dikerjakannya itu harus benar-benar
dilakukan dengan “khusu’” dan “ikhlas” semata-mata ditujukan kepada
Allah. Karena dengan “kekhusu’an”
dan “keikhlasan” itu maka ia akan
dapat merasakan kehadiran Allah dalam hatinya. Dan kehadiran Allah dalam hati
itulah yang sebenar-benarnya kepuasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar