Annasu fii wuruudilminani ‘alaa
tslaatsati aqsamin : farihun bilminani laamin haitsu mahdiiha wamunsyi-uha
walaakin biwujuudi mut’atihi fiiha. Fahadzaa minalghofiliina yashduqu ‘alaihi qauluhu
ta’alaa : hattaa idzaa farihuu bima uutuu akhadznaahum baghtatan, wafarihun
bilminani min haitsu annahu syahidahaa ninnatan mimman arsalaha wani’matan
mimman aushalahaa yashduqu ‘alaihi qauluhu ta’alaa : qul bifadhlillaahi
wabirahmatihi fabidzaalika falyafrahuu huwa khairun mimmaa yajma’uuna,
wafarihuu billaahi maasyaghalahu minalminani zhahiru mut’atiha walaabathinu
minnatihaa bal syaghalahun nzharu ilaallaahi ‘ammaa siwahhu walmaj’u ‘alaihi
falaa yasyhadu illaa iyyaahu yashduqu ‘alaihi qauluhu ta’alaa : qulillaahu
tsumma dzarhum fiikhaudhihim yal’abuuna.
Artinya
: “Manusia dalam menerima karunia Allah itu terbagi menjadi (tiga) golongan, yaitu :
1. Orang yang merasa gembira dengan karunia itu, akan tetapi
kegembiraannya bukan ditujukan kepada yang member karunia itu melainkan karena
“kelezatan” (kenikmatan) yang dapat dirasakan pada karunia itu. Orang demikian
termasuk golongan orang-orang yang “lalai”.Hal
ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an
Surat Yunus ayat 58, yang artinya:
“Sehingga apabila mereka dengan apa
yang telah diberikan kepada mereka (maka) Kami (akan) “menyiksa” mereka dengan “tiba-tiba”
2.
Orang yang
merasa gembira dengan karunia itu kemudian dia mengerti bahwa
karunia yang diterimanya itu sebagai nikmat dari “Dzat” yang telah memberikannya (yaitu Allah).
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam
Al-Qur’an Surat Al-An’am ayat 91,
yang artinya :
“ Katakanlah : Dengan karunia Allah
dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan
rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
3.
Orang yang
merasa gembira sebab Allah. Maka tidak menyibukkan kepadanya dari karunia
itu kenikmatan lahir dan tidak pula kenikmatan bathin. Sebaliknya telah
menyibukkan kepadanya melihat Allah sehingga lupa kepada mekhluq dan pertemuan
hatinya dengan-Nya. Maka dia tidak melihat kecuali hanya kepada Allah. Hal ini
sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an
Surat Al-An’am ayat 91, yang artinya : Katakanlah Allah-lah (yang
menurunkannya). Kemudian biarkan lah mereka bermain-main dalam kesesatannya”.
Menurut Abu
Muhammad Abdul Aziz Al-Mahdawi, bahwa barangsiapa yang tidak melihat Pemberi
nikmat ketika dirinya menerima nikmat, maka nikmat itu hanya merupakan “Istijrod” (jawa = pengluluan atau
bombingan) dan akan merubah menjadi “bala”
(ujian).
Terhadap
keterangan di atas Abu Hamid Al-Ghazali membuat perumpamaan orang yang menerima
“karunia dari Allah” itu dengan
orang yang menerima “kuda dari seorang
raja”. Maka setiap orang yang menerima kuda itu ada tiga macam, yaitu :
1. Merasa gembira karena telah mendapatkan
sesuatu yang sangat diharapkannya. Karena itu ia tidak mempedulikan lagi siapa
yang memberinya. Yang penting ia telah memiliki kuda.
2. Merasa gembira bukan karena kudanya, tetapi
karena pemberiannya adalah seorang raja.
3. Merasa gembira dengan pemberian itu, ia tak
peduli apakah yang diberikan kepadanya itu kuda atau bukan. Dan dengan
pemberian itu ia pun lalu berusaha mendekatkan diri kepada raja agar bias
mendapatkan kedudukan yang istimewa di sisi-Nya.
Dari ketiga golongan
di atas, golongan yang disebut terakhirlah (golongan ke tiga) yang mempunyai
sikap paling baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar